"Jangan main terlalu malam ntar diculik wewe gombel! "
"Kalau nakal nanti dicariin miss kunti loh"
Ada sering ungkapan yang dilontarkan orang tua atau orang dewasa kepada anak kecil hanya sekedar menakut-nakuti. Tujuannya tidak lebih agar si anak menurut atas larangan yang kita berikan.Â
Biasanya orang dewasa memasukkan kisah urban legend yang berkembang dan dipercaya oleh masyarakat untuk menciptakan rasa takut dan horor kepada orang lain (dalam kasus ini anak kecil). Umumnya urban legend muncul karena diceritakan mulut ke mulut sehingga menjadi kisah populer.Â
Beberapa urban legend yang populer di masyarakat seperti Genderuwo, Kuntilanak, Wewe Gombel, Suster Ngesot, Nyi Roro Kidul, Mak Lampir, Nini Pelet, Pocong dan sebagainya.Â
Memanfaatkan kisah urban legend untuk menakuti anak kecil justru akan berdampak kurang baik bagi perkembangan psikis anak.Â
Kenapa?Â
1. Anak Memiliki Memori yang Kuat
Usia 4-12 tahun adalah masa di mana anak aktif belajar dan menyerap informasi baru. Segala informasi yang didapat akan tersimpan kuat pada memori mereka. Bahayanya di usia ini mereka belum mampu melakukan filterisasi informasi yang didapat.Â
Artinya apa yang disampaikan oleh orang lain akan langsung diterima oleh si anak tanpa adanya pengkroscekan apakah info itu benar atau salah.
Misalkan orangtua menakuti anak dengan ucapan, "Cepat tidur kalau belum tidur nanti bakal dicariin Genderuwo. Badannya besar, berbulu, dan suka ganggu anak kecil yang belum tidur"Â terdengar sederhana memang karena ucapan itu untuk menasihati anak untuk tidak tidur larut malam.Â
Nyatanya anak akan membayangkan sosok Genderuwo dan mempercayai bahwa Genderuwo hobi mengganggu anak yang tidur larut malam.Â
Gambaran ini tentu akan tersimpan dalam memori si anak kecil karena mereka mendapatkan informasi sosok Genderuwo yang menakutkan dari orangtua atau orang dewasa yang ada disekitarnya.
2. Anak menjadi Sosok Penakut
Ketika anak dibuat takut secara berulang terkait kisah urban legend maka akan menciptakan rasa ketakutan pada diri si anak. Mungkin awalnya orangtua hanya sekadar menakuti si anak agar si anak menuruti apa yang diinginkan. Namun justru tercipta rasa takut berlebihan pada si anak.Â
Sangat sering saya melihat ketika lampu rumah tiba-tiba mati, anak kecil menjerit dan berlari ketakutan karena mereka mengganggap akan muncul sosok hantu atau sosok menyeramkan jika lampu mati. Ketakutan lainnya seperti takut ditinggal sendiri, takut lihat topeng menyeramkan, takut melintasi kuburan, dan sebagainya.
Setiap orangtua pasti mengingkan anaknya menjadi sosok pemberani dan mandiri. Nyatanya sikap mereka yang suka menakuti anak dengan kisah urban legend justru berkontribusi besar menciptakan karakter penakut pada anak.Â
Pembentukan karakter penakut pada diri si anak adalah hal yang paling mengkhawatirkan jika orangtua terlalu sering melakukan tindakan ini.
3. Tidak Menjadi Sosok Panutan
Sejak kecil sudah menjadi sosok penakut maka sudah dapat dibayangkan saat dewasa pun tetap menjadi sosok penakut. Saya tidak bisa membayangkan jika kelak dirinya menjadi orang yang ditetuakan di lingkungan atau menjadi orangtua.Â
Orang disekitarnya pasti berharap bahwa dirinya akan menjadi sosok panutan yang memberikan contoh yang baik di keluarga atau lingkungan sekitar.
Nyatanya ketika lampu tiba-tiba mati justru dirinya berteriak paling keras dan bereaksi layaknya anak kecil. Menjerit, menangis atau bahkan bertingkah aneh hanya karena hal-hal yang tidak logis.Â
Saya masih sering bertemu dengan sosok orang dewasa yang takut tidur sendirian, takut ditinggal di ruangan seorang diri atau menonton film horor.
Jika kita memiliki karakter penakut, bagaimana bisa kita memberikan contoh kepada anak atau generasi muda untuk menjadi sosok pemberani. Yang ada justru akan menjadi bumerang bagi diri sendiri atau menjadi bahan cemooh dari orang lain.
4. Lebih Percaya Tahayul
Seorang anak yang terlalu sering mendengar kisah urban legend dan memiliki pengalaman sering ditakuti oleh orangtua dari kisah urban legend justru membuat dirinya percaya akan tahayul dibanding berpikir logis. Setiap kejadian akan selalu dikaitkan dengan kisah atau cerita yang pernah dirinya dengar.
Misalkan ketika uangnya hilang secara tiba-tiba akan langsung berpikir uang dicuri oleh tuyul. Nyatanya uang tersebut terselip di saku celana.Â
Ketika pintu rumah tiba-tiba terbuka dan tertutup sendiri langsung berpikir bahwa ada sosok makhluk halus disekitarnya padahal pintu tersebut terbuka dan tertutup karena ada angin yang mendorong pintu tersebut.
Saya ingat saat kecil di kampung saya sempat dihebohkan dengan kisah hantu muka rata yang suka mengganggu orang yang keluar malam hari. Kisah ini memang berhasil menekan jumlah orang yang suka berkeliaran malam hari. Namun justru terasa menjadi bagian dari masyarakat yang percaya tahayul dan informasi hoax.Â
Sayang disayangkan, di mana seorang anak harusnya dibekali oleh ilmu agama yang kuat dan menghilangkan pemikiran tahayul namun realitanya anak justru lebih suka mengkaitkan segala sesuatu dari sisi tahayul.
 Jika ini terjadi tentu akan menjadi keprihatinan sendiri bagi kita yang hidup di negara yang menjunjung tinggi nilai agama.
5. Percaya pada Hal Klenik
Selain membuat anak percaya pada tahayul, anak juga berpotensi percaya pada hal klenik. Ini semua tentu sangat bertentangan dengan agama.Â
Contohnya anak percaya terhadap jimat pengusir setan, boneka jailangkung untuk memanggil arwah penasaran, boneka jenglot untuk penglaris, boneka santet, dan hal klenik lainnya.
Kita masih mudah menemukan orang yang senang bermain boneka jailangkung karena ingin menguji kebenaran cerita di masyarakat bahwa bisa menjadi sarana memanggil arwah penasaran. Ada mantra khusus yang sangat terkenal untuk yang sering dibacakan oleh orang yang bermain boneka jailangkung.
Jailangkung, Jailangkung. Datanglah ke Pestaku. Datang tak Dijemput, Pulang tak Diantar
Mantra ini begitu populer di masyarakat kita. Umumnya mereka menggunakan media boneka hanya untuk keisengan seperti membuktikan kebenaran bisa memanggil arwah penasaran, ingin menanyakan kenapa dirinya bisa meninggal ataupun menanyakan ramalan di masa depan.
Perbuatan ini tentu bertentangan dengan agama. Adanya perilaku ini karena mereka sering mendengar kisah urban legend yang ada di masyarakat sehingga memuncul rasa ingin tahu yang besar akan kisah tersebut.
---
Itulah beberapa hal dampak yang bisa saja terjadi jika kita sebagai orang dewasa terlalu sering menakuti atau menceritakan kisah urban legend.Â
Di tengah kemoderan zaman dan berkembangnya ilmu pengetahuan, masih banyak cara yang bisa dilakukan agar anak bisa menuruti keinginan kita dengan menggunakan kata atau nasehat yang lebih bijak.Â
Misalkan, jangan bermain terlalu jauh karena banyak orang jahat berkeliaran. Menurut saya ini cara ini lebih masuk akal dan logis dibandingkan memberikan rasa takut dengan kisah menyeramkan.Â
Ini karena dampak dari kisah yang menyeramkan akan meninggalkan rasa ketakutan jangka panjang dan ini tentu tidak baik bagi perkembangan psikis anak.
Semoga Bermanfaat
--HIM--
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H