Masuknya Warga Negara Asing (WNA) ke Indonesia untuk menduduki pos atau jabatan tertentu bukanlah hal baru bagi negara kita. Kita teringat disaat masa penjajahan mulai dari bangsa Portugis, Belanda maupun Jepang. Kini dimasa modern, tidak sedikit Pemilik Modal Asing (PMA) mendirikan perusahaan di tanah air.Â
Tidak sedikit PMA yang memiliki perusahaan asing di Indonesia akan menempatkan perwakilan bisa jadi warga negara si PMA atau warga asing untuk menempati posisi Top management. Kasus seperti ini sering ditemukan untuk perusahaan dari Jepang, Cina, Korea Serikat, Eropa dan Amerika Serikat.
Saya menganalogikan kehadiran Pejabat Asing ibarat Jeruk Santang dan Jeruk Nipis. Kenapa?
Ini dikarenakan meskipun keduanya adalah varian jeruk namun memiliki karakteristik yang berbeda baik dari ukuran, warna, dan rasa. Tidak jauh berbeda dengan kita sesama manusia pun memiliki karakteristik, adat dan budaya yang berbeda.Â
Jeruk Santang dikenal sebagai jeruk yang bercita rasa manis, juicy, berwarna jingga (orange)dan rasanya menyegarkan. Tidak heran Jeruk Santang banyak digemari oleh masyarakat khususnya ketika mereka ingin merasakan buah yang segar dan manis.
Jeruk Nipis dikenal sebagai jeruk yang memiliki warna hijau agak kekuningan,berkulit tebal serta memiliki rasa kecut atau asam. Karena rasanya ini jarang masyarakat akan mencicipinya secara langsung. Umumnya jeruik nipis dijadikan sebagai pelengkap bumbu masakan serta minuman.
Kehadiran pejabat asing bisa memberikan pengalaman manis layaknya Jeruk Santang ataupun pengalaman pahit layaknya Jeruk Nipis dalam kehidupan kita. Saya berusaha menganalisa kehadiran pejabat asing dalam dua sisi yang berbeda.
Sisi Manisnya
Kehadiran pejabat asing akan membawa banyak perubahan khususnya dalam pola pikir dan pembawaan diri. Kita sebagai orang Indonesia yang menjunjung adat ketimuran selalu mengutamakan tata trama, tidak enakan, dan berusaha mengalah.Â
Kondisi ini memiliki sisi negatif dimana ketika ada orang yang salah, kita akan berusaha memaklumi, memaafkan dan tidak menegur sebagai peringatan karena ada perasaan takut menyinggung perasaan orang lain. Nyatanya dalam dunia profesional, sikap ini justru tidak bagus bagi perkembangan perusahaan, instansi ataupun organisasi.
Orang asing memiliki tipe to the point. Jika kamu salah, saya akan sampaikan kamu salah. Mereka tidak akan segan menegurmu karena suatu kesalahan meskipun kamu memiliki usia lebih tua daripadanya.Â
Ini karena kesalahan yang terjadi harus segera ditindak untuk menghindari hal yang tidak diinginkan terjadi serta sebagai bahan evaluasi bersama. Mereka tidak akan memikirkan perasaanmu karena bagi mereka segala hal yang menyimpang adalah bagian dari kesalahan.Â
Ini berbeda dengan yang terjadi di masyarakat kita. Contohnya kita memiliki teman yang bekerja di perusahaan kita. Teman ini ternyata mengambil uang perusahaan kita secara diam-diam. Ada dari kita berucap, "Ya Sudah tidak apa-apa. Tandanya belum rejekinya kita".Â
Nyatanya teman telah melakukan hal tidak baik namun kita berusaha memaafkan dan berusaha berpikir positif, mungkin dia teledor, mungkin dia butuh uang urgent, mungkin dia tidak sadar dan sebagaiknya.Â
Kata mungkin... dan mungkin akan selalu menjadi tameng agar kita berpikir positif. Selain orang Indonesia mempertimbangkan takutnya hubungan pertemanan menjadi rusak karena sebuah kesalahan sehingga memilih memaafkan dibandingkan menegur dan memberi sanksi pada orang tersebut.
Orang asing memiliki karakter disiplin yang kuat khususnya mereka yang berasal dari Asia Timur seperti Cina, Jepang dan Korea Selatan. Saya memiliki pengalaman tersendiri bersama dengan orang Jepang.Â
Saat sekolah dulu, ada Sensei Jepang yang mengajar di Sekolah kami. Mereka sepasang suami istri berusia lebih dari 60 tahun namun masih tampak sehat bugar. Mereka berusaha datang lebih awal dibandingkan murid-murid.Â
Pernah suatu ketika, mereka datang mepet jam masuk kelas. Mungkin ada sesuatu di jalan karena hal ini baru pertama kali terjadi. Ketika mereka sampai di sekolah, mereka berlari dan terlihat terburu-buru menuju kelas padahal bel masuk kelas belum berbunyi. Ternyata mereka merasa malu datang tepat waktu dan berusaha menyapa dan meminta maaf kepada siswa di depan.Â
Wow... di sini saya paham bahwa kenapa orang Jepang khususnya sangat dikenal sopan dan tahu rasa malu bila melakukan kesalahan. Meskipun sebenarnya kasus saya ini mereka belum telat karena sampai tepat waktu. Namun bagi mereka, guru harus datang lebih dulu daripada siswanya.
Saya sangat kagum terhadap budaya disiplin orang Jepang. Inipun yang diceritakan oleh teman-teman saya yang bekerja di perusahaan Jepang atau tengah berada di Jepang untuk urusan kerja atau kuliah.Â
Kedisiplinan ini telah diajarkan kepada generasi muda sejak mereka kecil. Tidak heran mengapa banyak orang Jepang yang menempati posisi tinggi di perusahaan karena budaya disiplin ini yang menjadikan mereka unggul.
Bandingkan dengan di Indonesia, semakin kamu mengganggap dirimu spesial khususnya dalam suatu jabatan maka banyak yang bersikap arogan dan tidak disiplin.Â
Berangkat kerja sesuka hatinya, pulang lebih awal dibandingkan semestinya, datang meeting telat dan sebagainya. Budaya disiplin dari WNA memang patut dicontoh bagi kita untuk lebih menghargai waktu.
WNA juga menjunjung profesionalitas dalam dunia kerja. Jika kalian pernah bekerja di perusahaan Eropa atau Amerika . Kalian akan menemukansisi profesionalitas dalam dunia kerja. Contohnya kamu memiliki atasan WNA yang sebenarnya juga adalah teman dekatmu.Â
Ketika dirimu salah di kantor, temanmu akan tegas menegurmu. Namun setelah itu mereka akan bersikap tenang kembali dan bercanda gurau setelah jam kantor selesai. Mereka tidak akan mengkaitkan hubungan personal dalam dunia kerja begitupun sebaliknya.
Bandingkan dengan di Indonesia, banyak yang baper ketika mendapatkan sebuah teguran. Bahkan sering terjadi kita menjadi pusat kemarahan oleh atasan karena kesalahan yang tidak kita lakukan atau istilahnya kemarahan yang dibuat-buat.Â
Nyatanya si bos uring-uringan karena habis berantem dengan sang istri di rumah atau si istri tidur mendengkur sehingga tidur si bos jadi tidak nyenyak. Permasalahan pribadi sering dibawa ke urusan kerja yang membuat seakan tidak profesional.
Hal lainnya Pejabat WNA akan menghargai setiap usaha dan waktu dari team atau anak buahnya. Jika dirasa tidak perlu lembur untuk mengerjakan tugas maka dirinya tidak akan meminta anak buah atau team lembur di kantor. Jikapun ternyata harus lembur, akan ada bayaran yang setimpal dari overtime tersebut.Â
Bandingkan di Indonesia, karyawan yang pulang overtime selalu dianggap rajin dan patut dicontoh. Bahkan ada perusahaan yang tidak membayar lembur karyawan karena mengganggap hal tersebut sebagai loyalitas terhadap perusahaan atau atasan. Sebuah ironi yang sering terjadi.
Sisi Pahit/Kecutnya
Tidak dipungkiri memiliki pejabat asing pasti juga terhadap sisi pahitnya. Kita berkaca pada dulu jaman penjajahan Belanda, Herman Williem Daendels yang saat itu menjabat Gubernur Hindia Belanda telah memberikan kisah pilu bagi masyarakat Indonesia.Â
Sistem kerja paksa Rodi untuk pembangunan jalan dari Anyer hingga Panarukan dengan upah yang minim bahkan dengan siksaan dari para pejabat Belanda saat itu. Meskipun itu sudah terjadi pada masa lampau namun kisahnya ini telah menciptakan stereotip bahwa pejabat asing akan semena-mena pada masyarakat lokal.
Sisi pahitnya, budaya orang barat khususnya Jepang terkenal dengan etos kerja cepat dan kerja keras. Mereka tidak segan akan memberikan deadline terhadap suatu pekerjaan dan bahkan menuntutmu untuk segera beradaptasi dalam hal baru.Â
Budaya ini cenderung membuat kita kerja di bawah tekanan dan panik serta mudah stres. Kondisi ini sebenarnya akan mempengaruhi kesehatan mental kita.Â
Tidak heran banyak orang Jepang sendiri yang mengalami stres karena dunia kerja. Budaya ini akan sangat susah di sinkronkan dengan kebiasaan di masyarakat kita yang tidak terlalu suka otak dipaksa berpikir secara ekstra.
Terjerumus budaya bebas pun akan menghantui kita jika bekerja di suasana yang mayoritas WNA. Hal yang paling dikhawatirkan kita akan diajak mengikuti cara berperilaku dan berinteraksi layaknya masyarakat internasional.Â
Minum wine, anggur atau minuman keras bagi orang asing adalah wajar namun ini akan bertolak belakang dengan kita. Tidak jarang atas yang merupakan WNA mengajak anak buahnya untuk pesta minuman keras dan clubbing jika ada sebuah kegiatan.Â
Hal pahit lainnya yang sering terjadi adalah budaya nepotisme dan meng-underestimate orang lokal. Pejabat asing adakalanya mengganggap dirinya well educated dan tidak terlalu percaya pada orang lain.Â
Tidak heran ketika bekerja di perusahaan asing, untuk struktur jabatan tertentu pastilah diisi oleh WNA. Ini sering terjadi di perusahaan Jepang, Korea Selatan dan Eropa. Warga lokal perlu bekerja keras dan menunjukan prestasi lebih jika ingin memiliki jenjang karir yang baik.
Itulah hal manis dan pahit yang sering saya lihat di sekitar saya ketika ada WNA yang memiliki posisi tertentu di Indonesia. Segala sesuatu pasti ada yang manis layaknya Jeruk Santang dan akan diimbangi dengan Hal kecut seperti rasa Jeruk Nipis tergantung kita menyikapinya. Semoga bermanfaat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H