Mohon tunggu...
H.I.M
H.I.M Mohon Tunggu... Administrasi - Loveable

Hanya orang biasa yang memiliki 1 hati untuk merasakan ketulusan, 1 otak untuk berpikir bijak dan 1 niat ingin bermanfaat bagi orang lain | Headliners 2021 | Best in Specific Interest 2021 Nominee

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Balada antara Siswa, Guru dan Penjual Cilok

16 Juli 2020   08:28 Diperbarui: 16 Juli 2020   08:34 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi penjual Cilok dan rekan-rekannya pasti menyambut baik dibukanya aktivitas sekolah. Artinya ladang usahanya akan kembali hidup dan dapur bisa mengepul seperti sedia kala.

Ada PR besar yang menanti bagaimana menciptakan suasana sekolah yang aman dan terhindar dari penyebaran Covid19. Kita berkaca pada kasus Secapa TNI AD sebagai lembaga pendidikan militer di Jawa Barat justru menjadi cluster baru penularan Covid19.

Bayangkan saya siswa Secapa TNI yang pasti memiliki fisik kuat, pengawasan yang ketat dan pasti adalah orang-orang pilihan juga dapat dengan mudah terkena Covid19 apalagi para siswa SD yang belum berpikir dan bertindak secara matang.

Siswa SD hanya paham bahwa di sekolah mereka belajar, berinteraksi dengan teman sebaya dan melakukan aktivitas lainnya di jam istirahat. Pemahaman Covid19 mungkin hanya sebatas "bungkus luarnya" saja seperti wajib cuci tangan dan pakai masker.

Peran guru sangat besar disini. Mereka tidak hanya menjadi pendidik namun juga pengawas. Pengawasan terhadap interaksi siswa dengan penjual Cilok (pada kasus ini termasuk juga penjualan makanan, minuman, permainan disekitar SD).

Perhatikan saja ketika jam istirahat, siswa SD akan berhamburan keluar gerbang sekolah untuk membeli cemilan Tukang Cilok. Mereka tidak peduli lagi dengan batas jarak aman 1 meter. Bagi mereka siapa yang di depan penjual itulah yang akan segera dilayani.

Siswa tidak akan paham pentingnya higienitas dan sanitasi. Mereka tidak akan peduli penjual apakah menggunakan masker, habis pegang apa sebelumnya, sudahkah cuci tangan sebelum jualan dan keringat di tubuhnya sudah dikeringkan.

Bagi mereka yang penting Cilok itu enak, murah dan mengeyangkan. Berdesak-desakan adalah cara lain menikmati kenikmatan Cilok. Saya bahkan menilai cemilan terenak justru adalah para penjual depan SD. Saya akui rasanya enak, murah dan menggugah selera.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah perputaran uang. Uang adalah salah satu media penularan tercepat. Kasus Covid19 di Wuhan Cina diduga berasal dari interaksi di pasar tradisional Wuhan. Uang yang berpindah tangan semakin memberikan kontribusi penularan yang masif.

Jika orang dewasa kini menghindari penggunaan uang cash dan sebisa mungkin cardless. Tidak mungkin ini diterapkan ke anak SD. Akan aneh membeli Cilok dengan menggunakan debit, kartu kredit atau uang elektronik. Penggunaan uang kertas dan koin lazim digunakan bertransaksi.

Bayangkan ketika di sekolah, guru sudah menerapkan protokol kesehatan seperti mewajibkan siswa cuci tangan sebelum masuk ke kelas, pakai masker/face Shield, menjaga jarak 1 meter dan sebagainya. Ternyata karena uang jajan mereka terkena Covid19.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun