Mohon tunggu...
H.I.M
H.I.M Mohon Tunggu... Administrasi - Loveable

Hanya orang biasa yang memiliki 1 hati untuk merasakan ketulusan, 1 otak untuk berpikir bijak dan 1 niat ingin bermanfaat bagi orang lain | Headliners 2021 | Best in Specific Interest 2021 Nominee

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Balada antara Siswa, Guru dan Penjual Cilok

16 Juli 2020   08:28 Diperbarui: 16 Juli 2020   08:34 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Siswa SD mengantri Beli Cemilan. Sumber Harapan Online

Kabar baik datang dari dunia pendidikan. Kemendikbud memberikan lampu hijau untuk pelaksanaan proses belajar mengajar untuk wilayah zona hijau Pandemi Covid19. Ini artinya siswa yang berada di daerah Zona Hijau diperkenankan untuk masuk kembali pada 13 Juli 2020 kemarin.

Keputusan ini tidak terlepas dari kesepakatan antara beberapa pos kementerian seperti Kemenkes, Kemendagri beserta Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid19. Sudah hampir 4 bulan siswa diliburkan dari aktivitas belajar dan kini mereka siap menjalankan tahun ajaran baru 2020.

Tulisan saya ini sebenarnya sebagai sambungan dari tulisan sebelumnya seputar antisipasi kekhawatiran orang tua terhadap pelaksanaan PAUD dan TK (Klik disini). Anggap saja setelah membahas PAUD dan TK kini beranjak terhadap proses pembelajaran di SD.

Saya tertarik mengangkat topik ini dari 3 sudut pandang yaitu siswa, guru dan penjual Cilok. 

Sudut pandang siswa. Selama masa study from home, saya yakin banyak siswa senang bisa terbebas dari rutinitas belajar di sekolah. Seiring waktu mulai hinggap rasa kebosanan dan merindukan masa-masa sekolah.

Saya pernah membaca berita seorang siswa SD menangis di halaman sekolah karena rindu suasana belajar dan teman-temannya. Ini menandakan bahwa masih ada siswa yang antusias untuk balik ke sekolah.

Sudut pandang guru. Guru pun banyak yang merasakan hal sama dengan siswa. Ada banyak yang senang ketika penerapan study from home. Namun seiring waktu muncul kegelisahan. Bagaimana tidak, mereka harus bersusah payah bersahabat dengan teknologi untuk mendukung pembelajaran online.

Tidak hanya itu, tuduhan guru menerima gaji buta juga banyak dilontarkan orang tua siswa kepada para guru. Saya percaya tuduhan ini begitu menyakitkan karena guru pun berusaha terbaik untuk tetap memberikan kontribusi dalam pengembangan pengetahuan anak didiknya. Sebenarnya guru berjuang keras menyesuaikan kurikulum yang selama ini disusun bukan untuk proses belajar online.

Kembalinya proses belajar mengajar melalui tatap muka juga disambut baik oleh banyak guru meski ada beban psikis untuk memastikan proses belajar mengajar sesuai dengan protokol kesehatan dan tidak menimbulkan masalah baru khususnya penyebab Covid19.

Sudut pandang penjual Cilok. Penjual Cilok disini hanyalah representasi dari pelaku usaha kecil yang menggantungkan usahanya dari aktivitas sekolah. Penjual Cilok saya gunakan karena merupakan cemilan populer dan mudah ditemukan di depan SD selain penjual minuman, permainan anak, telur gulung dan sebagainya.

Bagi penjual Cilok dan rekan-rekannya pasti menyambut baik dibukanya aktivitas sekolah. Artinya ladang usahanya akan kembali hidup dan dapur bisa mengepul seperti sedia kala.

Ada PR besar yang menanti bagaimana menciptakan suasana sekolah yang aman dan terhindar dari penyebaran Covid19. Kita berkaca pada kasus Secapa TNI AD sebagai lembaga pendidikan militer di Jawa Barat justru menjadi cluster baru penularan Covid19.

Bayangkan saya siswa Secapa TNI yang pasti memiliki fisik kuat, pengawasan yang ketat dan pasti adalah orang-orang pilihan juga dapat dengan mudah terkena Covid19 apalagi para siswa SD yang belum berpikir dan bertindak secara matang.

Siswa SD hanya paham bahwa di sekolah mereka belajar, berinteraksi dengan teman sebaya dan melakukan aktivitas lainnya di jam istirahat. Pemahaman Covid19 mungkin hanya sebatas "bungkus luarnya" saja seperti wajib cuci tangan dan pakai masker.

Peran guru sangat besar disini. Mereka tidak hanya menjadi pendidik namun juga pengawas. Pengawasan terhadap interaksi siswa dengan penjual Cilok (pada kasus ini termasuk juga penjualan makanan, minuman, permainan disekitar SD).

Perhatikan saja ketika jam istirahat, siswa SD akan berhamburan keluar gerbang sekolah untuk membeli cemilan Tukang Cilok. Mereka tidak peduli lagi dengan batas jarak aman 1 meter. Bagi mereka siapa yang di depan penjual itulah yang akan segera dilayani.

Siswa tidak akan paham pentingnya higienitas dan sanitasi. Mereka tidak akan peduli penjual apakah menggunakan masker, habis pegang apa sebelumnya, sudahkah cuci tangan sebelum jualan dan keringat di tubuhnya sudah dikeringkan.

Bagi mereka yang penting Cilok itu enak, murah dan mengeyangkan. Berdesak-desakan adalah cara lain menikmati kenikmatan Cilok. Saya bahkan menilai cemilan terenak justru adalah para penjual depan SD. Saya akui rasanya enak, murah dan menggugah selera.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah perputaran uang. Uang adalah salah satu media penularan tercepat. Kasus Covid19 di Wuhan Cina diduga berasal dari interaksi di pasar tradisional Wuhan. Uang yang berpindah tangan semakin memberikan kontribusi penularan yang masif.

Jika orang dewasa kini menghindari penggunaan uang cash dan sebisa mungkin cardless. Tidak mungkin ini diterapkan ke anak SD. Akan aneh membeli Cilok dengan menggunakan debit, kartu kredit atau uang elektronik. Penggunaan uang kertas dan koin lazim digunakan bertransaksi.

Bayangkan ketika di sekolah, guru sudah menerapkan protokol kesehatan seperti mewajibkan siswa cuci tangan sebelum masuk ke kelas, pakai masker/face Shield, menjaga jarak 1 meter dan sebagainya. Ternyata karena uang jajan mereka terkena Covid19.

Siswa beli sebungkus Cilok, membayar dan mendapatkan kembalian. Uang kembalian entah sudah dipegang oleh berapa orang. Ternyata uang itu ada virus Korona dan terlanjur dipegang siswa. 

Setelah itu mereka makan Cilok yang sebelumnya dipegang dengan tangan dan masuk ke tubuh melalui mulut. Tidak hanya itu mereka berjabat tangan atau berinteraksi dengan teman atau guru dengan tangan tersebut. Bisa dibayangkan akan ada berapa orang yang tertular karena hal sepele ini.

Guru perlu memastikan bahwa upaya pencegahan tidak hanya fokus pada hal internal namun juga eksternal. Pertanyaannya adalah apakah guru bisa menjamin hal tersebut?

Saya rasa agak susah. Ini karena pada jam istirahat, guru pun punya rutinitas sendiri seperti makan, mengecek tugas siswa, berinteraksi dengan sesama guru, chatingan dan aktivitas pribadi lainnya. 

Istilah sederhananya adalah jam istirahatku adalah waktuku, jam istirahatmu adalah waktumu. Lakukan segala sesuatu selama itu waktumu. 

Inilah hal yang perlu diantisipasi selama pemberlakukan kembali aktivitas belajar mengajar. Jangan sampai karena 1 kesalahan dapat menimbulkan masalah dikemudian hari. Kini bisa saja wilayah tersebut masuk Zona Hijau namun ketika cluster baru, perubahan menjadi zona kuning hingga merah pun sangat mungkin terjadi.

Intinya perlu ada komunikasi dan edukasi antara guru kepada siswa maupun penjual Cilok agar bersama menjaga higienitas dan sanitasi agar menghindari penyebaran virus.

Tulisan ini tidak memojokkan salah satu pihak khususnya para penjual Cilok. Hanya sebatas opini dan saran untuk sama-sama mencegah penularan virus di lingkungan pendidikan.

Salam hangat

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun