Logikanya lainnya kita sebagai orang awam disaat tidak sengaja melakukan hal yang melukai orang lain pasti secara refleks akan kaget atau panik dan berusaha untuk membantu sebisa mungkin.
Misal: kita menyenggol orang lain di jalan hingga orang tersebut terjatuh maka reflek kita akan membantunya untuk bangun dan meminta maaf. Kenyataannya berbeda pada kasus Novel Baswedan, mereka yang diduga pelaku justru kabur dan meninggalkan Novel Baswedan seorang diri menahan rasa sakit dan terbakar pada area wajahnya.
Kasus ini mirip tabrak lari yang berusaha menyelamatkan diri karena panik dihakimi massa. Selain itu jika tumpah harusnya ada cairan yang mengenai bagian tubuh pelaku namun jika tidak terkena secara nalar wajar ada anggapan bahwa air keras tersebut sengaja "ditumpahkan".
Kekritisan kedua, putusan hukuman hanya 1 tahun penjara. Sudah rahasia umum bahwa banyak putusan hukuman yang seakan "kurang adil" bagi salah satu pihak. Berkaca pada pernyataan Bintang Emon terlihat bahwa dirinya berusaha menempatkan diri sebagai pihak korban yang merasa kurang adil dengan putusan hukuman tersebut. Apakah salah?
Sahabat Kompasiana pasti pernah membaca atau mendengar kisah seorang nenek asyani dijerat hukuman 1 tahun penjara karena dianggap mencuri kayu di kawasan perum perhutani.Â
Sebagai masyarakat, kita pasti prihatin seorang nenek dijerat hukuman yang mirip dengan kasus penyiraman air keras. Nenek tersebut hanya mengambil beberapa potong kayu untuk bertahan hidup tidak melukai orang lain bahkan jika diperkenankan mungkin banyak pihak bersedia membayar kerugian yang ditimbulkan oleh nenek tersebut.
Berbeda halnya dengan kasus penyiraman yang secara nyata menyebabkan Novel Baswedan buta dan area wajah luka secara permanen. Saya yakin jika ditawarkan kepada orang lain untuk mendapatkan liuka yang sama maka mayoritas masyarakat memilih untuk tidak bersedia.
2 tahun belakangan ini juga sedang marak kasus pencemaran nama baik yang menimpa beberapa orang dan kasus penistaan agama. Ada yang sudah mendapatkan hukuman dan justru hukuman yang diterima jauh lebih berat dibandingkan kasus penyiraman air keras.Â
Logika jika jeratan hukuman 1 tahun penjara bagi mereka yang diduga pelaku penyiraman air keras menjadi bahan kritikan Bintang Emon.
Di negara penganut Syariat Islam memberlakukan hukuman mata dibayar mata, nyawa dibayar nyawa. Bahkan Suku Baduy pun memiliki aturan hukum yang mirip dengan syariat islam.Â
Bersyukurlah di Indonesia putusan pengadilan masih memasukkan sisi kemanusiaan karena ada kejadian yang terjadi diluar kendali manusia. Namun tetap berlandaskan keadilan yaitu adil tanpa ada kepentingan lain dari putusan tersebut.