Kenapa saya sebut nama Syamsul Hadi PhD, Pak?
Karena dia satu dari generasi 1990an itu. Ia memilih jalan sunyi, kembali ke dunia kampus, sebagaimana juga banyak dari jenderal-jenderal lapangan aktivis 98 lainnya.Â
Generasi yang merasa sudah menuntaskan kewajiban politiknya, hanya dengan bergerak di lapangan dalam waktu singkat, lalu kembali ke kehidupan biasa yang apatis dan apolitis, sekalipun mereka adalah dosen, peneliti, bankir, pekerja sosial, bahkan mungkin penulis naskah iklan di perusahaan-perusahaan multinasional.
Saya juga perlu sebut satu nama sahabat lagi, seorang aktivis mahasiswa Semanggi I dan Semanggi II. Dia pemikir ekonomi yang hebat di era mahasiswa.
Namanya Mohammad Nasir yang kuliah di Fakultas Ekonomi UI. Saya bertemu tidak sengaja ketika ia turun dari angkot, sedangkan saya sudah menaiki mobil. Ia terlihat kusam dan kusut. Ternyata Ia bekerja menjadi seorang buruh, tetapi tetap dengan mata menyala.
Apa yang terjadi dengannya?
Jari-jari tangannya ternyata sudah hilang. Jari-jari yang bisa membangun bangsa ini terguyur siraman bensin dan dimakan api, dari bom molotov yang dipegangnya dalam Tragedi Semanggi itu.
Nasir tidak hanya gagal masuk kawasan Segitiga Emas (Kuningan, Thamrin dan Sudirman), sebagaimana cita-cita alumni FEUI lainnya. Nasir yang cacat tangan itu jatuh ke dalam kelompok yang dibelanya dalam setiap diskusi: kaum miskin perkotaan dan kelompok masyarakat marginal.
Dua nama sahabat di dalam tumpukan catatan harian saya sudah cukup menjadi wakil generasi berusia 40-an tahun atau lebih muda. Mereka yang hilang digerus roda perubahan yang sekarang kian sulit dimengerti. Dua orang yang memiliki cita-cita besar akan ketangguhan negeri, kini digantikan oleh parade unjuk kuasa kalangan yang itu-itu saja di atas belantara kebodohan dan kemiskinan. Parade yang tak mengenal santun dan bahkan miskin akan ilmu pengetahuan.
Sekali lagi, warnai kabinet Bapak dengan generasi ini, bukan nama-nama yang Bapak anggap ada lewat printed leaders yang sudah tertinggal jauh di abad lampau itu. Generasi yang usianya tidak terlalu jauh dengan Bapak, masih bisa berkomunikasi dengan gaya guyon.
Saya ingat, Pak, salah satu keberhasilan Gerald Schroeder di Jerman dalam mengubah negaranya adalah dengan memanfaatkan tenaga dan pikiran Flower Power Generation 1969 di negaranya. Mereka bisa duduk semeja, lalu berkata:
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!