Tetapi, sebagai generasi berusia 40-an tahun, mereka ada di mana-mana secara mandiri dan otodidak dalam posisi yang tidak memerlukan uluran tangan orang lain lagi, hanya demi menghidupi keluarga masing-masing.
Mereka ada dalam struktur dan kultur masyarakat itu sendiri dalam pelbagai ragam profesi yang mulai mapan.
Terus terang, banyak nama lama yang terus muncul dan dimunculkan untuk ada di sekitar Bapak, bahkan ketika yang melahirkan konsep Trisakti mereka tumbangkan dengan propaganda gerakan Angkatan 1966.
Mereka ingin terus ada di lapisan atas, membentuk kader-kader biologis dan ideologis, agar terus ada dan berkuasa. Nama-nama yang dulu kami hadapi dalam gerakan 1990-an, terus muncul lagi dengan berbagai dandanan, titel ataupun gelar akademis.
Bagaimana bisa energi murni pembaharuan dan perubahan bisa tumbuh subur, apabila fisik yang menggerakkannya sama dan saling bertolak-belakang?
Pak Joko Widodo (Widodo) yang menjadi penerima mandat rakyat
Kami sudah melihat bagaimana tantangan yang ada di depan Bapak dan kelompok mana saja yang menggerakkan. Baik koalisi ataupun aliansi itu, dengan mudah bisa dibaca lewat perjalanan bangsa ini sejak patahan sejarah Mei 1998, atau malah akar umbi Rezim Orde Baru.Â
Konsolidasi yang mereka lakukan sudah sedemikian rupa, sehingga roda sejarah bisa dibalikkan kembali.
Dalam teori transisi menuju konsolidasi demokrasi, tidak sedikit negara yang jatuh lagi ke tangan sekelompok orang yang justru menjadi penikmat rezim otoritarian sebelumnya. Sebutan zaman ini adalah Sengkuni dalam kisah yang lebih lama lagi dalam kitab berabad lampau.
Mari baca kembali buku From Voting to Violence: Democratization and Nationalist Conflict yang ditulis Jack Snyder. Dari buku itu kita tahu, bahasa-bahasa nasionalisme adalah opium yang digerakkan dengan mesin propaganda moderen untuk meraih simpati massa oleh para penikmat rezim masa lalu itu.
Siapa mereka?