Mentalitas pemimpin mayoritas etnis Minangkabau adalah sosok yang seperti itu. Atau, hadapkan ke situ. Atas nama tugas dan tanggungjawab, berani berhadapan dengan apapun.Â
Lahir dan batin. Demi marwah orang Minang, dalam sisa bara api, berangkat ke Papua untuk menenangkan hati perantau di sana. Api padam, carano diisi. Limbago dituang.
Pasangan Nasrul Abit -- Indra Catri berdasarkan standar yang paling bisa dipertanggung-jawabkan, berada pada titik itu. Analisa SWOT atas Sumatera Barat pun seperti aur dengan tebing. Masalah-masalah yang ada di Sumatera Barat, baik antar kabupaten dan kota, tidak bisa lagi diselesaikan dengan perlombaan bersilat lidah sambil bergumam.
Salah besar jika Minangkabau hanya mengandalkan sisi intelektualitas semata dari para pemimpin. Lebih keliru lagi, jika merasa bangga sudah berhasil "membully" seseorang di media sosial menggunakan akun anonim.
Kalau perlu, segera lupakan Bung Hatta!
Jangan ingat lagi Bung Syahrir!
Kuburkan jauh-jauh buku-buku Tan Malaka!
Sadarkah tuan-tuan dan puan-puan, betapa banyak nama sosok yang disebut intelektual Minang itu, hampir dan sedikit sekali berpikir atau berbuat untuk ranah Minang. Kiprah mereka kebanyakan di rantau. Pulang kampungpun barangkali tak sempat.
Berilah sambutan yang hangat kepada mereka yang kembali. Baik di masa masih muda. Atau bisa saja ketika menempuh usia menjelang ufuk. Mereka yang kembali adalah mereka yang benar-benar memasuki lumpur atau kubangan itu. Dan mereka segera tahu bahwa kerbau di Minang tak digunakan untuk berpolitik, apalagi politik peperangan!
Dan tidak perlu seabrek gelar ketika ada yang kembali dan hendak berbuat. Apalagi gelar akademik. Buat apa? Kan bukan ajang skala kampus?
Tapi, jika mereka balik membawa lagi sejumlah jurus ilmu silat asal Minang yang hilang dibawa pendekar-pendekar masa lalu, justru jadikan mahaguru.Â