"Lihat itu, bagaimana seorang alim seperti Buya Mahyeldi, ikut mengangkut pasir yang masuk kategori bid'ah. Tidak ada satupun kitab suci yang menyebut bahwa manusia bisa berubah menjadi batu," begitu cimeeh saya.
Namun, cimeeh itu sekaligus protokol tetap saya guna menyiarkan kepedulian seorang Mahyeldi atas pantai, pasir, pesisir, laut dan segala macam isinya. Bahkan dengan cara "menyuruk" dan "memanggul" soal-soal kebid'ahan sebagai sarang paling menyenangkan bagi mitologi berkembang pesat.Â
Seperti di laut Selatan Jawa, mitologi itu berubah menjadi sesembahan dan ketundukan dalam bentuk sesajen. Mahyeldi melakukan secara berbeda, langsung berhadapan dengan bukti hitam di atas putih. Karang di batas pasir.
***
Dan begitu seterusnya. Saya tentu bisa bercerita tentang yang lain. Padahal, dari tadi maksud hati tetap fokus kepada NA-IC. Jangan sampai saya menyebut juga nama-nama lain. Bisa sangat panjang tulisan ini.
Atau, barangkali pandangan saya tidak diperlukan, saya tentu legowo saja. Atau saya saja yang merasa ongeh, serasa terbayang lagu-lagu tahun 1970an tentang Pandang-Pandangan.
Kalau hanya bersifat pribadi, tidak penting juga bagi saya menyampaikan pikiran. Apalagi, saya tidak punya hak pilih. Hanya saja, individualisme sudah lama pudur dalam kolektivitas di Minangkabau. Saya punya Mamak, Apak, Ungku, Inyiak, Gaek, Yawo dan sebutan lain di jajaran laki-laki.
Salapan minggu lagi. Warga Sumatera Barat secara umum, atau urang Minangkabau secara khusus, bakal menyoblos satu dari empat pasang Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur periode berikut.Â
Kalau baliuang alah maarah ka mato kaki, tasanda pulo di tabiang nan banapa, iyo sipak cindaku tapaso dipakai. Suko ndak suko. Nio ndak nio. Coblos sajo salah satunyo. Â Â
Sejauh yang bisa diikuti, terlalu banyak hoaks menyembur. Kampanye hitam yang merusak keindahan demokrasi di Minangkabau. Bukan saja indah, tapi juga ksatria. Berjiwa Hang Tuah. Berani berhadap-hadapan muka dalam debat di gelanggang.Â
Tak hendak sembunyi di balik rumpun ilalang. Siapapun yang berbuat curang, tanah babigu Minangkabau bakal menghukumnya. Bukan kuda gumarang yang datang, tapi jilatang. Ini cara saya mengutuk bergaya si pahit lidah. Tentu, bukan dengan mulut berkumbah yang bisa berubah menjadi nanah.