Mohon tunggu...
Indra J Piliang
Indra J Piliang Mohon Tunggu... Penulis - Gerilyawan Bersenjatakan Pena

Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara. Artikel bebas kutip, tayang dan muat dengan cantumkan sumber, tanpa perlu izin penulis (**)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Zona Bebas Covid-19, Mulailah dari Desa!

1 April 2020   07:29 Diperbarui: 2 April 2020   02:49 3575
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Noktah harapan mulai muncul. Seluruh pasien infeksi virus corona Kota Malang berhasil sembuh. Cahaya kecil tak boleh pudar. Dalam panggung nasional, regulasi tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan ditanda-tangani. 

Jelang sebulan kasus pertama diumumkan Presiden Jokowi. Tak perlu menunggu bulan kedua. Walau, jumlah korban terus bertambah, tersebar di hampir seluruh provinsi.

Medan perang besar dalam sejarah manusia, selalu mencatat titik penting perubahan keadaan. Ketika bayangan kematian dan kepunahan sudah begitu dekat, energi kemenangan sekecil apapun bakal menjalar. Bagai orang yang hanyut di sungai atau tenggelam di laut, ranting kayu yang mengapung tetap dianggap bagai perahu penyelamat.

Seperti batu kerikil Nabi Daud (David) yang meluncur deras kearah mata Raja Jalud atau Gholiath. Gholiath tumbang dengan mata pecah. Anak petani miskin dari dusun antah berantah, mampu menjatuhkan raja pilih tanding bersenjata pedang tajam dan tombak runcing. 

Kebetulankah? 

Tentu tidak. Daud ahli menggunakan ketapel yang selalu tersandang di leher atau pinggangnya. Setiap hari ketapel itu menemui sasaran, hewan-hewan pengganggu tanaman atau ternaknya. Bidikan Daud akurat. Akurasi presisi. Justru Daud bakal kesulitan menggunakan pedang atau tombak yang jauh dari kehidupan petani.

Anak-anak kampung penulis dan seekor elang runduk yang mulai langka. Sedih. DokPri
Anak-anak kampung penulis dan seekor elang runduk yang mulai langka. Sedih. DokPri
Keahlian khas Daudlah yang bakal menyelamatkan Indonesia dari bencana kemanusiaan yang sudah masuk ke setiap bilik pribadi. Keahlian yang tidak diperoleh dengan instan. 

Bukan juga berdasarkan petunjuk ahli-ahli kesehatan dunia yang datang membawa buku panduan. Bahkan yang datang dari Tiongkok sekalipun, berikut peralatan mereka. Siapapun mereka, apapun keahlian yang dimiliki, bukan berdasarkan pengalaman panjang. Mereka baru tahu juga, tak berjarak bulan, apalagi tahun. 

Ya, hanya satu atau dua pekan, bahkan beberapa hari. Kasuistik, belum bisa dijadikan sebagai metode yang bisa dipakai secara umum. Tanpa mengenal tempat, waktu, iklim atau usia korban.

Apa itu?

Bersandar kepada manusia Indonesia sendiri. Jenis yang termasuk tua dari sisi arkeologi. Homo sapiens. Pitekan tropus erectus. Hobbit Flores.

Perjalanan nenek moyang Indonesia sudah pernah berhadapan dengan beragam bentuk penyakit menular. Ketika puluhan ribu pendatang dari Eropa tewas di Batavia, akibat penyakit tropis, justru tak terjadi dengan penduduk pribumi yang lebih miskin, kumuh dan jarang menggunakan pakaian tertutup. 

Bukan yang bertelanjang dada yang tewas bergelimpangan. Tapi mereka yang berada dalam strata teratas. Yang menjajah yang rentan.

Mudah, ya, teramat mudah melakukan duplikasi penanganan penyakit. Tinggal keruk saja anggaran publik, kalau perlu menumpuk hutang. 

Gunakan semua untuk mendatangkan dokter-dokter "veteran" Wuhan, peralatan yang baru keluar dari pabrik, obat-obatan yang dijual industriawan yang baru dikenal via internet, bahkan relawan sewaan bergaji tinggi. Seperti keberadaan industri farmasi yang membelit Indonesia. Beragam nama obat-obatan yang kandungannya sama. 

Percayalah, Indonesia bakal terus diperbudak sebagai area kolonialisme dan kapitalisme dengan senjata ketakutan terhadap virus. Pahlawan-pahlawan perang terhadap pandemi Covid-19 itulah yang menjadi tentara-tentara pendudukan zaman baru. 

Mentalitas sebagai bangsa terjajah bakal berulang, yakni menyambut pasukan pendudukan Nippon sebagai Pemimpin Asia, Pelindung Asia dan Cahaya Asia.

Ketika seluruh area sudah dinyatakan sebagai zona merah, bukan berarti sedikit tempat yang masih zona hijau atau zona kuning. Mitos penjajahan selama 350 tahun menunjukkan, betapa banyak kerajaan-kerajaan merdeka yang sama sekali tak pernah didatangi tentara kolonial. Sapuan kuas VOC atau Hindia Belanda tak sama di seluruh wilayah luas ini. Kondisi geografi, keberagaman suku bangsa yang terbanyak di dunia, perbedaan agama, sampai bahasa dan dialek adalah kekuatan. 

Kebhinnekaan yang menjadi rantai yang lebih kuat dari titanium.

Dari mana memulai?

Arsirlah zona-zona yang tak merah, tak kuning. Kesalahan terbesar dalam peta persebaran Covid 19 adalah pemberian warna berdasarkan provinsi. 

Padahal, kesatuan pemerintahan terkecil bukanlah provinsi, bukan juga kabupaten atau kota, melainkan desa. 

Desa-desa itulah yang diarsir dengan warna merah, kuning atau hijau. Bakal terlihat perubahannya. Warna merah tak bakal lebih dominan. Warna hijaulah yang menjadi penguasa.

Alokasi terbesar anggaran publik juga tertuju ke desa. Dari desa-desa itulah zona-zona decoronaisasi dimulai. Taruhlah bendera merah putih yang berkibar tinggi di gerbang-gerbang desa yang masuk zona hijau. 

Yang zona merah? Kibarkan bendera merah putih setengah tiang, berdampingan dengan bendera hitam atau kuning, sebagai simbol kematian. Penjagaan jarak fisik dimulai di desa-desa itu. 

Swasembada dilakukan dengan semangat khas desa. Pela gandong. Saiyo sakato. Dapur umum. Nasi bungkus. Lumbung-lumbung pangan dibuat lebih besar dan banyak, ketimbang lokasi-lokasi baru rumah-rumah sakit.

Jika perlu, keluarkan kebijakan Tanam Paksa! Apa yang ditanam? Tentu kebutuhan pangan yang sudah ada sejak dulu, bahkan yang dicari bangsa-bangsa Eropa. Ubi, talas, rempah, semuanya. 

Ambil alih dulu jutaan hektar lahan-lahan yang sudah dialihfungsikan kepada segelintir pengusaha saja. Warga bakal senang hati bertanam kebutuhan apa saja di atas lahan-lahan itu. 

Tanaman jangka pendek, menengah, hingga panjang. Dirikan koperasi desa, badan usaha milik desa. Libatkan kalangan muda yang penuh energi menjadi pengelola.

Terdapat 25.269 desa di pulau Jawa, dari total sekitar 75.000 desa di Indonesia. Dalam jumlah hampir sama, terdapat 25.589 desa di Pulau Sumatera. 

Dua pulau ini saja, memiliki dua pertiga total desa di Indonesia. Di luar itu, masih terdapat desa-desa yang berada di hutan atau kawasan hutan, berjumlah 25.863 atau sepertiga jumlah total desa. 

Belum lagi jika tabulasi dibuat berdasarkan berapa jumlah desa yang berada di pulau-pulau kecil, gunung-gunung tinggi, atau lembah-lembah dalam.

Jadikan desa-desa yang berwarna hijau dengan kibaran bendera merah putih yang tinggi sebagai bungker-bungker perlawanan atas virus corona. 

Bikin tulisan-tulisan raksasa dengan tagline: "Zona Bebas Covid-19 Nomor Sekian". Halangi keluar-masuknya orang ke desa-desa itu. Karantina mereka yang masuk di area-area yang jauh dari pemukiman penduduk.  

Komunikasi itu mirip jampi-jampi. Semakin sering dikatakan, kian tertanam sebagai kebenaran. Kebohongan yang terus-menerus dibicarakan adalah kebenaran. 

Jika perubahan metode ini terjadi, maka jabatan yang pertama kali wajib dihapus adalah Juru Bicara Corona. Kini, Juru Bicara Corona itu muncul dimana-mana. 

Bukan saja di pusat, tapi di daerah-daerah, rumah-rumah sakit, hingga puskesmas. Setiap orang ingin masuk layar berita, lalu bicara riwayat seseorang yang baru saja dinyatakan positif infeksi.

Sejak hari ini, atau bisa saja besok, berhentilah memberikan informasi live tentang perkembangan jumlah korban corona, baik yang terinfeksi atau tewas. Taruh saja data itu dalam situs yang dipercaya, tidak hanya satu. 

Tidak seluruh orang di Indonesia ingin tahu tentang perkembangan data-data itu. Pun hanya sedikit saja yang bisa memahami apa kegunaan data-data itu. 

Yang terjadi, orang bicara sendiri-sendiri atas apapun yang disebut corona. Sebab, referensi berita yang dibaca berbeda-beda, kejadiannyapun berbeda.

Kawan penulis yang tinggal beberapa meter dari Mesjid Jamik Kebun Jeruk, bersikeras menyebut bahwa mesjid itu diisolasi karena ditemukan beberapa korban tewas. 

Ia tak mericek ke sumber berita, tapi hanya berdasarkan "Katanya! Katanya!" Khas manusia Indonesia, lebih mengandalkan lisan, dibandingkan tulisan. Lebih percaya kata, dibanding data.  

Tanpa perubahan metode, tak bakal mengubah paradigma. Hawa negatif bakal terus menjalar, ketika otak mengkonsumsi berita dan cerita yang bernada negatif. Itulah virus yang sebenarnya, bukan hanya sekarang. Epidemi yang merusak peradaban bangsa ini.

Sampai kapan kita terus-menerus diperbudak dengan cara seperti ini? Salam merdeka 100%!

Jakarta, 1 April 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun