"Saya jomblo, Bro," ujar Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta Anies Rasyid Baswedan, ketika bertemu beberapa waktu lalu di Balaikota.Â
Saya datang untuk menyampaikan bahwa "cuti pilpres" saya sudah berakhir.
Saya sudah baca pernyataan Anies itu dari berita di media massa. Tapi toh ucapan itu juga keluar, ketika saya tanyakan beban pekerjaan gubernur yang menumpuk. Bukan "beban" atau bukan juga "pekerjaan" dalam arti umum, sebetulnya. Tapi agenda yang datang dari orang atau pihak lain. Pertemuan. Undangan. Diskusi.
Setahun sudah Jakarta tanpa Wakil Gubernur (Wagub). Dari sisi protokoler, saya rasa tidak ada yang benar-benar merepotkan. Gubernur DKI Jakarta toh memiliki empat orang Deputi Gubernur. Dua orang baru saja dilantik awal bulan ini.
Berbeda dengan provinsi lain, Wali Kota dan Bupati di Jakarta adalah bawahan langsung Gubernur. Wali Kota/Bupati diangkat oleh Gubernur atas pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Wali Kota/Bupati di Jakarta adalah cabang eksekutif yang tak didampingi legislatif setingkat DPRD Kota/Kabupaten. DPRD hanya ada di tingkat provinsi. Chief of command-nya jelas.Â
Persoalannya, Basuki Tjahaja Purnama (BTP) sudah meletakkan legacy yang "berat". Agenda BTP bertemu dengan warga, begitu banyak. Bukan hanya menyambut warga di kantor Balai Kota yang selalu terbuka, BTP tak segan-segan datang ke acara kondangan yang dihelat warga. Bahkan, saking bersemangatnya, BTP pernah datangi resepsi di luar Jakarta.
Nah, sisi salam-salaman, plus dialog sebentar, berikut solusi cepat atas masalah warga dengan sentuhan personal, juga tentu berfoto ria dengan banyak orang inilah yang kesulitan dipenuhi oleh Gubernur Anies.Â
BTP lebih unggul dan belum tersaingi. Untunglah, agenda pemilu serentak lumayan memberi nafas kepada Anies. Demi netralitas --walau banyak yang menyebut Anies berpihak-- ia perlu jauh-jauh dari kerumunan tokoh-tokoh dan massa politik.
Soal keberpihakan, saya sempat "sedikit ribut" di media sosial. Anies dituduh berpihak dengan simbol angka dua. Padahal, jauh-jauh hari saya tahu, Anies hanya sedang menggunakan simbol the JakMania. Simbol yang memang mirip dengan pasangan nomor urut dua dalam Pilpres lalu.
"Waktunya sudah lewat. Mestinya jauh-jauh hari ada gugatan hukum, jika memang perlu, dari manajemen the Jak Mania terhadap Badan Pemenangan Nasional Prabowo Subianto-Sandiaga Uno," begitu kira-kira yang saya sampaikan.
Anies terlihat lebih sehat dan berisi, ketimbang menjelang pelantikan. Saat itu, Anies sedang diet makanan tertentu. Bobot badannya berkurang drastis. Lemak di dalam perutnya menipis. Tubuh Anies yang menyebut diri sebagai "kaum berseragam" terlihat lebih atletis, ketimbang saat kampanye Pilgub 2017.
***
Tak heran, posisi Anies yang jomblo tak banyak berpengaruh terhadap kinerja pemerintahan. Anies memang tidak seatraktif pimpinan daerah favorit lain, seperti Ganjar Pranowo (Gubernur Jawa Tengah), Ridwan Kamil (Gubernur Jawa Barat), Zulkieflimansyah (Gubernur Nusa Tenggara Barat), atau Bima Arya Sugiarto (Wali Kota Bogor). Kepala daerah lain perlu sedikit "caper" atau malah hingga "jungkir-balik", agar mendapatkan pemberitaan pers atau menjadi viral di media sosial.
Anies? Malah sebisa mungkin menghindari pers sebanyak-banyaknya, biar tak menghadapi serbuan "Warga Negara Jempol", "Warga Negara Cuap-Cuap" ataupun "Warga Negara Kreator Meme". Apapun yang dilakukan Anies, atau yang tak dilakukan Anies, sudah memiliki pangsa pasar tersendiri. Jumlah yang benci dan rindu dengan Anies relatif seimbang. Itupun diwakili oleh nama-nama raksasa yang dikenali di ranah media sosial.
Kenyamanan suasana kejombloan itulah yang menyebabkan isu pengganti Sandiaga Salahuddin Uno sebagai Wagub DKI Jakarta menjadi terpinggirkan. Malahan, makin tidak relevan.Â
Sekarang, makin masuk ke lingkaran elite. Bahkan, hanya masalah dua orang, yakni Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera Habib Salim Segaf Al-Jufri dan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra Prabowo Subianto. Lingkaran ring satu kedua tokoh itu, makin hari malah ikut bingung alias tak lagi seyakin masa kampanye pilpres tatkala bercakap tentang Cawagub ini.
Sandiaga Uno adalah pasangan lahir-batin Anies Baswedan. Pasangan yang dalam posisi psikologis "kawin paksa" dalam semalam menjelang pendaftaran Cagub-Cawagub. Pasangan yang dalam konteks sebelum Pilpres digelar. Pasangan yang saling belajar kilat ketika kampanye berjalan, plus menjalankan pemerintahan setahun pertama.
Per hari ini, pengertian "pasangan serasi" sudah tak bisa lagi digunakan. Sandi sudah lahir sebagai sosok yang kian mampu dipahami publik. Karakter Sandi perlahan-lahan menjelma sebagai kekuatan diri sendiri, ketimbang pergunjingan publik dengan informasi terbatas dalam siklon politik. Sesuatu yang baru sekadar potensi diri ketika menjadi Wagub DKI Jakarta, kini sudah menjadi butir pemikiran, sistem nilai, gerak langkah, warna kebijakan, hingga postulat hidup. Seseorang yang kesulitan meraih angka minimal popularitas 7% setelah dua tahun "blusukan" sebelum tahapan pilgub dimulai.
Bisa saja turbulensi politik memasangkan lagi Anies - Sandi. Tentu dengan catatan tak ada sosok yang bisa dijadikan Wagub Pilihan Dua Tokoh Nasional. Jika itu kejadiannya, kalau memang Anies-Sandi bersatu kembali, publik tak lagi melihat sepasang Gubernur dan Wagub DKI Jakarta, melainkan -- saya langsung saldo dengan gegabah -- sebagai Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden 2024-2029. Publik tak lagi melihat siapa yang pantas menjadi nomor satu atau nomor dua. Bisa saja Sandi - Anies atau Anies - Sandi.
Hanya dalam waktu dua tahun, Anies - Sandi sudah selesai menjadi individu-individu yang berada pada puncak piramida lapisan pemimpin level nasional. Anies - Sandi sudah tak lagi terbatas sebagai tokoh lokal atau sosok daerah. Tak ada yang bakal mencibir, ketika keduanya disebut sebagai tokoh nasional dalam antrean. Dan itupun dengan kriteria tambahn: bukan tokoh nasional yang sedang memudar atau hendak memupus.
Dalam lingkaran sinaran matahari harian, Anies - Sandi adalah dua tokoh nasional yang berada pada kondisi pukul 10.30 atau kurang. Keduanya belum berada di puncak ubun-ubun kepemimpinan harian. Apalagi sedang beranjak menuju sore, miring ke arah senja dan tenggelam dalam kelam malam.Â
Dengan biaya mahal demokrasi Indonesia, amat sulit dan jarang sekali sosok-sosok nasional lain berada pada posisi keduanya dalam waktu secepat ini. Pun dibandingkan dengan jam terbang politisi lain yang jauh lebih dikenal.
Fadli Zon dan Fahri Hamzah, dua orang sahabat saya yang lebih lama dibanding bersahabat dengan Anies (sejak tahun 1993), sudah berlayar jauh dalam samudera politik. Tapi siapa yang berani bertaruh tantangan dengan pernyataan saya: ketokohan Fadli - Fahri berada satu level lebih rendah dibanding Anies-Sandi. Energi kinetik dan energi potensial Anies - Sandi pun masih lebih bertenaga dibandingkan dengan Fadli - Fahri yang mulai kesulitan membangun narasi otentik. Apabila Fadli - Fahri tak bertapa sejenak guna mengubah dandanan, isi hingga sasaran dari narasi mereka, putaran arus repetisi bakal menggulung.
***
Singkat cerita, Anies tidak bakal kehilangan pesona sebagai pemimpin hari ini, esok dan nanti. Dalam sepuluh tahun terakhir ini, dua nama yang pernah mengalami posisi bintang kejora seperti Anies --pun Sandi-- adalah Anas Urbaninggrum dan BTP.Â
Kedua nama itu kita tahu, mengalami situasi jatuah tapai dalam bahasa prokem anak Minang. BTP sudah menapak lembaran baru, walau dalam sejumlah pernyataan sedang tak hendak berbaris berada dalam jejeran pemimpin-pemimpin formal yang sedang kontestasi. Anas, tentu saya mendoakan, semoga berhasil menulis kitab putih politik dalam goa heningnya.
Dalam situasi seperti ini, sosok seperti apa yang cocok menjadi Wagub DKI Jakarta sebagai tandem Anies?Â
Sosok yang tahu bukan matahari, tapi cukup sebagai rembulan. Sosok yang membantu dengan berjalan di belakang, bukan yang hendak sejajar dalam posisi sadar kamera. Sosok yang yang cerdas secara intelektual, sekaligus santun secara emosional. Bisa jadi sosok yang tidak lebih gagah dari sisi fisik, walau bukan berarti tak layak lenggang-lenggok di atas panggung politik Jakarta yang tiba-tiba bisa langsung disorot ratusan lampu.
Saya menyebut sosok tersebut sebagai 11/12 dengan Sandi. Yang mengerti, memahami dan mengenali Jakarta sebaik ia tahu lika-liku sudut rumah dan halaman peninggalan kakek-neneknya. Sosok yang paham macam-macam sendi kehidupan nasional, regional dan internasional. Sosok yang mampu cas cis cus dalam bahasa asing dengan Anies dalam debat-debat yang keras, namun di dalam ruangan tertutup.Â
Rasional, cerdik, atau bisa jadi tak mudah putus asa dalam menggunakan akal pikiran. Si Kancil dalam jejeran buaya-buaya bermulut menganga yang hendak menerkam kehidupan rakyat kecil di Jakarta.
Di luar itu, tentu sosok Wagub ini adalah orang yang tak mudah memakai jas orang lain dalam arena fashion show, walau hanya pinjaman dan kedodoran. Orang yang mampu menjahit sendiri pakaiannya, humoris dalam tekanan pekerjaan dan hujatan, serta memiliki pergaulan luas walau tak tampak dan hendak ditunjukkan.
Jangan sampai stamina Anies justru habis dengan melakukan pekerjaan-pekerjaan pada level managerial. Anies punya hak untuk menunjukkan diri lebih dari sekadar (saudagar) intelektual yang sedang bersaing dengan kota-kota lain yang nyaman bagi aktivitas ekonomi.Â
Si Jomblo ini masih terlihat dan terbaca berbalas-pantun dengan kritikus-kritikusnya yang berjumlah ribuan. Kurang begitu sedap membaca Anies menjawab soal bambu dengan baja dari Tiongkok, sementara baja tetap menjadi masalah besar yang membutuhkan solusi visioner pemimpin berskala nasional.
Anies dalam tahapan mencari seorang Neo Hatta, andai ia adalah Sukarno. Atau Anies sedang mencari seorang Neo Habibie, andai ia adalah Soeharto. Atau, dalam prinsip Sarekat Dagang Islam (SDI) sebagai cikal bakal persekutuan orang-orang terjajah yang menyekolahkan anak-anak muda Islam pada awal abad lampau, Anies memerlukan seorang talenta saudagar terdidik sebagai Santri Perkotaan agar ia fokus dengan pelaksanaan kurikulum pemerintahan Jakarta Manusiawi hingga tuntas.Â
Seseorang yang tentu tak boleh lepas dari bayang-bayang Masyumi sebagai nilai-nilai politik dan pemerintahan yang banyak dinukil oleh Mohammad Natsir dalam seri Kapita Selekta-nya yang genuine itu. Bagaimanapun, Partai Keadilan Sejahtera tak bakal membiarkan sosok pendamping Anies berada di luar nilai-nilai yang mereka perjuangkan.
Seseorang yang moderat, tentu juga bukan seseorang yang melarat. Seseorang yang bisa jadi masih baru dalam hitam-putih politik. Seseorang yang sudah tahu legamnya politik, sehingga tak perlu juga terjerambab dalam nukilan Sang Pangeran ala Niccolo Machiavelli. Seseorang yang dekat dengan kehidupan politik, namun mampu mengambil jarak yang tepat ketika menjadi bagian dari komunitas epistemiknya.
Tentu, tak perlu seideal itu. Namun perlu diberi garis bawah dengan huruf tebal: seseorang yang tak bakal menjadi beban bagi kehidupan politik Anies, terlebih lagi Prabowo Subianto dan Salim Segaf al-Jufri. Seseorang yang bukan anak macan, tapi anak kucing yang tahu menjaga area rumah untuk tetap bersih. Seseorang yang menyenangkan ketika banyak tamu datang.
Sosok yang tetap tak mengubah Anies sebagai Jomblo Ibu Kota, ketika sangkakala sudah ditiup betapa satu posisi istimewa Jakarta sedang dihitung mundur menuju akhir sebagai ibukota negara
Siapakah dia?
Jakarta, 20 September 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H