Penerjemahan karya bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia, sudah pasti menggunakan imajinasi dari begitu banyak pilihan arti yang tersedia.
Dalam era 1990an, pernah muncul apa yang dikenal sebagai teater mini kata. Bahkan, lebih jauh lagi, teater mini makna. Kawan saya, Ramdhansyah, mantan Ketua Bawaslu DKI Jakarta, pernah begitu dikenal dengan puisi dengan judul “Watingpung!”
Puisi itu sama sekali menggunakan bahasa “alien”, alias tidak bisa diterjemahkan ke dalam bahasa apapun. Namun, kami kawan-kawannya, tetap bisa “memaknai” pembacaan puisi Watingpung karya Ramdhan itu, baik dengan situasi sedih, tertawa, atau berpikir.
Dalam skema pengembangan Taman Ismail Marzuki ke depan, Anies menjelaskan dari sisi manajemen, hingga operasional. Ketika saya singgung soal Malioboro, Anies menyebut sudah memulai dengan melebarkan Jalan Raya Cikini.
Ia menyebut bahwa Cikini akan menjadi kawasan seni dan budaya yang berskala internasional. Malioboro dalam bentuk yang lebih moderen, kosmopolit dan sekaligus berkelas.
Saya menimpali uraian Anies dengan menyebut Cikini adalah jangkar seni dan budaya. Sebagai jangkar, TIM mesti terhubung dengan pusat-pusat peradaban yang lain, seperti kampus Universitas Indonesia, Kantor Pusat Nadhlatul Ulama, Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia, Gereja Kristen Indonesia, dan lain-lain.
Saya bayangkan, terdapat gondola yang menghubungkan pusat-pusat keagamaan, ilmu pengetahuan, sampai aktivitas ekonomi kreatif.
Sembari membayangkan masa depan itu nanti, tentu masa lalu adalah cermin. Anak-anak muda pengikut Tan Malaka beraktivitas di seputaran jalan itu.
Banyak peristiwa bersejarah terjadi dalam radius TIM, termasuk Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur.
Pun area pergerakan mahasiswa pelbagai angkatan. Begitu juga dengan wajah kekerasan yang menyertai, seperti aksi perampasan rumah-rumah milik warga negara Belanda, seterusnya milik partai terlarang, peristiwa Malari 1974, hingga 27 Juli 1996. Sesuatu yang berbau kekuasaan, politik hingga perseteruan.
Dengan membuat jangkar seni dan budaya di area itu, ada atap raksasa yang tak terlihat betapa manusia semakin ditinggikan derajatnya, hewan diperlakukan sebagai mahkluk yang punya hak hidup, begitu juga dengan tumbuh-tumbuhan.