Mistisisme sudah berakar dalam seluruh elemen kebudayaan. Bukan hanya dalam bentuk penghambaan harta dan benda, mistisisme bersarang dalam ajaran-ajaran agama, filsafat, etnografi, linguistik, bahkan berbentuk kisah-kisah setan, siluman, dan mitos yang berserakan.
Ibarat kangker stadium empat, mistisisme ditanamkan lama lewat jalur ilmu pengetahuan. Makam keramat, ilmu kebal, Malin Kundang, Nyi Loro Kidul, keris, hingga lambang-lambang yang dipakai dalam masing-masing organisasi dan kerajaan.Â
Mistisisme yang berwajah rasial adalah hegemoni warna kulit. Putih lebih hebat daripada kuning. Kuning unggul dibanding sawo matang. Derajat sawo matang diatas hitam.Â
Keunggulan sains yang dipakai oleh bangsa Indonesia ketika membangun Candi Borobudur dan Prambanan, misalnya, diganti dengan kisah sehari semalam berdasarkan kekuatan supra-natural seseorang. Seluruh pencapaian bangsa Indonesia di bidang perkapalan, irigasi, astronomi hingga geologi, diselimuti dengan cerita-cerita yang diluar kerangka berpikir materialisme, dialektika dan logika yang dikembangkan sebagai metodologi berpikir oleh Tan.
Dalam melawan seluruh upaya pembodohan itu, gerakan politik dan ekonomi tidak lagi cukup. Gerakan budaya adalah cara yang paling bisa digunakan dalam mencabut mistisme hingga ke akar-akarnya.Â
Gerakan budaya yang tak terbatas pada kulit-kulit luar, tapi menyentuh kepada filsafat pemikiran yang membentuknya. Gerakan budaya adalah jalan panjang dalam lorong kegelapan nalar yang dibangun lama. Bahkan, gerakan budaya menjadi semacam perlawanan abadi yang dilakukan bergenerasi.
Kalau dilihat anak-anak muda yang mengintari Tan dalam era perang kemerdekaan, terlihat betapa orang-orang politik jauh lebih sedikit. Justru yang dominan adalah para seniman.Â
Mereka bukan hanya menjadi penyair-penyair tangguh, pelukis-pelukis hebat, tapi juga penyusun kata-kata yang disebarkan dengan cepat berbentuk pamflet-pamflet perlawanan.
"Merdeka atau Mati" misalnya, ataupun sejumlah bahasa Inggris dalam grammar yang tepat, ditulis oleh anak-anak muda pengikut Tan ini. Begitu juga dengan lagu-lagu perjuangan sebagai penyemangat dari orang-orang berbambu runcing.
Bayah adalah tempat Tan menunjukkan diri sebagai seorang seniman. Bahkan Tan adalah seorang pesepakbola. Tan Malaka sejak kecil gemar bermain sepakbola. Ia pun pernah bergabung dengan klub profesional bernama Vlugheid Wint di Harleem, Belanda selama dua tahun (1914-1916).Â
Tentu, sebelum berangkat ke Belanda, Tan adalah seorang guru mengaji. Kemampuannya di bidang ilmu membaca dan menafsirkan Al Qur'an, entah mengapa, sengaja disembunyikan.Â