Selama ini, peran ayah sering kali dipersepsikan terbatas pada penyedia nafkah atau figur otoritatif dalam keluarga, sementara aspek emosional dan pengasuhan lebih banyak diserahkan pada ibu.
Hari Ayah diperingati di banyak negara sebagai bentuk penghormatan terhadap peran ayah dalam keluarga dan masyarakat, menyoroti pentingnya kehadiran seorang ayah dalam pembentukan karakter, kestabilan emosional, dan kesejahteraan anak.
Di balik perayaan ini tersimpan harapan akan terciptanya keluarga yang utuh dan harmonis, di mana sosok ayah menjadi teladan dan pelindung.
Namun, ironisnya, Hari Ayah juga dirayakan di tengah meningkatnya angka fatherless atau ketidakhadiran ayah dalam kehidupan anak-anak di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Banyak anak yang tumbuh tanpa sosok ayah, baik karena perceraian, pekerjaan yang membuat ayah harus tinggal jauh, atau bahkan karena keputusan untuk tidak terlibat dalam pengasuhan.
Fenomena ini memicu kekhawatiran karena ketidakhadiran ayah dapat berdampak pada perkembangan mental dan sosial anak, yang pada akhirnya juga memengaruhi kualitas generasi mendatang serta stabilitas sosial dan ekonomi masyarakat.
Fenomena fatherless ini berkaitan erat dengan budaya patriarki yang masih dominan di banyak masyarakat, termasuk Indonesia, di mana peran ayah sering kali hanya dipandang sebagai penyedia nafkah utama, sementara tanggung jawab pengasuhan lebih banyak diemban oleh ibu.
Pandangan ini sudah menjadi norma turun-temurun, bahkan dianggap sebagai "ideal" dalam banyak keluarga, di mana ayah sering menghabiskan lebih banyak waktu bekerja di luar rumah dan kurang terlibat dalam keseharian anak-anak.
Dalam struktur patriarki seperti ini, peran ayah dibatasi hanya pada aspek materi, sementara peran emosional dan sosialnya diabaikan, yang mengakibatkan jarak emosional antara ayah dan anak.
Padahal, riset menunjukkan bahwa anak-anak yang memiliki hubungan dekat dengan kedua orang tua, termasuk ayah, lebih stabil secara emosional dan mampu mengembangkan hubungan sosial yang lebih baik.
Namun, banyak pria yang tumbuh dalam pola asuh patriarki mewarisi pola ini dan menganggapnya sebagai hal yang "normal," bahkan wajar, untuk tidak terlibat dalam pengasuhan anak. Mereka merasa bahwa keterlibatan mereka hanya terbatas pada tanggung jawab finansial, seperti yang dicontohkan oleh ayah-ayah mereka sendiri.
Bagi sebagian pria, karena mereka sendiri tidak banyak diurus oleh ayah mereka, maka mereka tidak melihat pentingnya peran mereka dalam hal pengasuhan emosional dan keseharian anak.
Pemikiran ini semakin memperkuat budaya patriarki yang tidak hanya membatasi peran ayah, tetapi juga menghambat perkembangan emosional anak dan keluarga secara keseluruhan.
Penyebab fenomena fatherless sangat bervariasi, mulai dari perceraian yang semakin umum, hingga situasi ekonomi yang memaksa ayah bekerja jauh dari keluarga.
Selain itu, faktor budaya patriarki juga turut berperan, di mana ayah cenderung diharapkan hanya memenuhi peran finansial tanpa perlu terlibat dalam pengasuhan sehari-hari.
Budaya ini membuat banyak ayah merasa bahwa tanggung jawab mereka cukup sebatas sebagai pencari nafkah, sementara pengasuhan dianggap sepenuhnya tanggung jawab ibu.
Alasan lainnya bisa berasal dari ketidakmampuan ayah dalam membangun hubungan emosional dengan anak-anaknya, baik karena minimnya contoh dari generasi sebelumnya maupun kurangnya pemahaman akan pentingnya peran emosional mereka.
Di Indonesia, fenomena fatherless berdampak besar terhadap kualitas generasi muda, termasuk dalam aspek kepemimpinan, pengambilan keputusan, dan kedisiplinan. Anak-anak yang tumbuh tanpa keterlibatan ayah sering kali menghadapi krisis kepercayaan diri dan kesulitan dalam membentuk karakter yang kuat.
Sebagai contoh, beberapa penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa anak-anak fatherless cenderung memiliki kendala dalam kemampuan mengambil keputusan yang baik dan bertanggung jawab, karena mereka tidak memiliki sosok figur otoritatif yang mencontohkan nilai-nilai kepemimpinan dan ketegasan sejak kecil.
Hal ini berdampak pada kelemahan karakter mereka, yang kemudian memengaruhi kemampuan mereka untuk menghadapi tantangan di lingkungan sekolah dan pekerjaan, bahkan dalam kehidupan sosial mereka.
Tidak hanya itu, kondisi fatherless juga dikaitkan dengan peningkatan perilaku negatif di kalangan anak muda, seperti kecenderungan untuk malas bekerja, terlibat dalam kebiasaan buruk seperti judi online, atau mencari pelarian lain yang kurang produktif.
Dengan tidak adanya figur ayah yang berperan sebagai panutan dan pemberi arah, anak-anak ini mudah terpengaruh oleh lingkungan dan media, yang sering kali menawarkan "jalan pintas" untuk mendapatkan kepuasan tanpa harus bekerja keras.
Hal ini menjadi masalah sosial serius di Indonesia, di mana banyak anak muda terjebak dalam perilaku konsumtif, kurangnya motivasi, dan perilaku impulsif yang sulit dikendalikan, yang akhirnya menghambat kontribusi positif mereka pada masyarakat.
Untuk memutus rantai fatherless dan dampaknya, diperlukan upaya yang terintegrasi dari berbagai pihak. Keluarga, sekolah, dan komunitas perlu berperan dalam membangun kesadaran akan pentingnya peran ayah dalam perkembangan anak, termasuk memberi dukungan emosional dan menanamkan nilai-nilai disiplin sejak dini.
Program edukasi dan konseling bagi para ayah tentang pentingnya keterlibatan mereka dalam kehidupan anak bisa menjadi salah satu solusi untuk mengubah pola pikir patriarki yang sempit.
Patriarki tidak salah jika dipahami sebagai sistem tanggung jawab yang seimbang di mana setiap anggota keluarga, termasuk ayah dan ibu, saling mendukung dan bekerja sama dalam peran yang diambil sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan mereka.
Dalam bentuk idealnya, patriarki dapat menciptakan lingkungan di mana ayah, sebagai figur yang kuat dan penyayang, mendukung perkembangan anak dan memberikan keteladanan, bukan sekadar sebagai pencari nafkah utama.
Sistem ini bisa menjadi fondasi yang stabil jika peran dan tanggung jawab setiap individu dalam keluarga dihargai dan dijalankan dengan kasih sayang dan dukungan penuh.
Hari Ayah seharusnya tidak hanya diperingati sebagai simbol atau formalitas, melainkan sebagai momen refleksi yang lebih dalam tentang peran penting ayah dalam kehidupan anak-anak mereka.
Selama ini, peran ayah sering kali dipersepsikan terbatas pada penyedia nafkah atau figur otoritatif dalam keluarga, sementara aspek emosional dan pengasuhan lebih banyak diserahkan pada ibu.
Padahal, penelitian menunjukkan bahwa keterlibatan aktif ayah dalam pengasuhan sangat berpengaruh terhadap perkembangan emosional, sosial, dan bahkan akademis anak.
Hari Ayah harus menjadi kesempatan untuk memperbaiki pandangan ini, mengingatkan masyarakat bahwa peran ayah dalam mendidik, memberi kasih sayang, dan menjadi teladan sangat vital bagi pembentukan karakter anak yang sehat dan seimbang.
Menghapus stereotip patriarki yang menganggap pengasuhan adalah tugas ibu semata adalah langkah penting dalam menciptakan kesadaran tentang pentingnya kehadiran ayah.
Dengan merayakan Hari Ayah sebagai momen untuk menyoroti keterlibatan ayah yang lebih dalam, kita dapat mendorong ayah untuk lebih aktif dalam kehidupan anak-anak mereka, baik secara fisik maupun emosional.Â
Ini bukan hanya tentang memenuhi kewajiban sebagai kepala keluarga, tetapi juga tentang membangun ikatan emosional yang kuat dengan anak-anak, yang akan berdampak pada kualitas hubungan keluarga dan tumbuh kembang anak di masa depan.
Dengan demikian, Hari Ayah harus menjadi waktu yang mendorong perubahan sosial yang lebih luas, mengatasi ketidaksetaraan peran dalam keluarga, dan mempromosikan model keluarga yang lebih inklusif dan harmonis.
Dan kalau masih ragu menjadi ayah, coba bayangkan momen pertama kali anak bilang, "Ayah, aku sayang kamu!"---saat itu, mungkin kita bakal sadar, jadi ayah itu bukan cuma tanggung jawab, tapi juga anugerah yang penuh cinta dan tawa (dan kadang cemas saat harus mikirin biaya sekolah dan mainan yang nggak ada habisnya!).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H