Dengan dihentikannya program produksi pesawat terbang, IPTN akan dapat konsentrasi penuh pada bisnis Aerostructures. Bisnis membuatkan komponen-komponen Airframe pesawat, terutama untuk Airbus dan Boeing, ini sangat menguntungkan. Keuntungan yang didapat didivisi ini bisa sepenuhnya digunakan untuk mengembangkan fasilitas dan kapabilitas ketingkat yang lebih tinggi lagi, sehingga dapat menampung pekerjaan pembuatan komponen yang lebih kompleks.
Sebenarnya IPTN mempunyai kesempatan mendapatkan bisnis aerostructures dari pembelian pesawat ke Boeing, Airbus, ATR, Sukhoi, sebesar: 1.75 miliar dollar AS.
Seperti lazimnya berlaku di industri penerbangan dunia, pemerintah Indonesia berhak mendapatkan offset dari pabrik pembuat pesawat sebagai imbalan atas pembelian pesawat oleh maskapai-maskapai Indonesia, Garuda, LionAir, Mandala, Batavia, SriwijayaAir dan lainnya. Atau dengan kata lain, jika maskapai-maskapai Indonesia itu membeli pesawat-pesawat ke pabrik-pabrik pesawat tersebut, pemerintah Indonesia berhak mensyaratkan ke pabrik pesawat tersebut untuk mensubkontrakkan pembuatan komponen-komponen pesawatnya ke pabrik pesawat Indonesia. India dan China mensyaratkan offset 20-30% dari harga pesawat pada setiap pembelian pesawat termasuk pembelian pesawat militer. Besarnya prosentase offset tergantung kapasitas dan kemampuan pabrik pesawat dinegara pembeli pesawat tersebut. Bila pemerintah Indonesia mensyaratkan 10% offset saja, IPTN sudah akan mendapatkan 1.75 miliar dollar AS. Sudah lebih dari cukup untuk menghidupkan pabrik pesawat terbang kita ini. Akan tetapi sangat disayangkan, hingga saat ini belum terdengar usaha Pemerintah ke arah ini.
Pemerintah melalui Kemenhub, KemenBUMN, Beppenas dan Kemendag diharapkan perhatian dan bantuannya pada pengembangan industri penerbangan khususnya untuk program offset ini, karena semua negara termasuk negara tetangga kita, Malaysia, sudah melangkah jauh dalam program ini. Perkembangan industri dirgantara China dan India ditopang oleh effektivnya program offset ini, padahal China baru pada tahun 2008 meluncurkan pesawat regionalnya yang berstandard Barat, ARJ21. Indonesia sudah meluncurkannya 13 tahun sebelum itu (1995), dengan N250.
India yang dengan program offset-nya sekarang ini membuatkan pintu pesawat Airbus A320, merencanakan meluncurkan pesawat regional transport berpenumpang 70, RTA-70, ditahun 2013.
Ikuti langkah British Aerospace Systems
Menghentikan memproduksi pesawat terbang (Airframe) dan konsentrasi pada produksi komponen pesawat (Aerostructures) adalah tindakan yang harus dilakukan oleh pabrik pesawat terbang program produksi pesawatnya sudah tidak ekonomis lagi. Dan ini dilakukan oleh perintis-perintis industri pesawat terbang dunia.
Berikut ini adalah Benchmark yang sangat credible untuk diikuti IPTN:
- Fokker, pabrik pesawat terbang Belanda menghentikan produksi pesawat terbangnya, Fokker70/100 (1995). Sekarang konsentrasi penuh pada produksi Aerostructures dan komponen lainnya untuk pabrik pesawat Airbus, Boeing dan juga pabrik pesawat militer Lockheed Martin dan EADS.
- SAAB, pabrik pesawat Swedia, menghentikan produksi pesawat sipilnya, SAAB340 dan SAAB2000 (1999) yang sangat populer terutama di AS. Sekarang konsentrasi pada produksi Aerostructures, komponen-komponen pesawat untuk pabrik pesawat lain, terutama Airbus. SAAB juga membuatkan wing untuk C295, versi baru CN235 yang lebih besar, buatan CASA Spanyol.
- British Aerospace Systems, pabrik pesawat Inggris yang memproduksi Comet, pesawat jet komersial pertama didunia, dan Concorde, pesawat komersial supersonic pertama didunia. BAE Systems menghentikan semua program produksi pesawat sipilnya, akibat lambatnya penjualan pesawat terbarunya, RJX (2002). Sekarang pabrik pesawat satu-satunya di Inggris ini konsentrasi pada bisnis Aerostructures, khususnya sayap pesawat. Semua sayap pesawat Airbus adalah buatan BAE Systems. Bahkan IPTN ikut “kecipratan” membuatkan komponen sayap Airbus pesanan dari BAE System ini.