Dengan gagalnya N250, praktis IPTN kehilangan proyek andalan yang sedianya akan membiayai seluruh programnya. Lima program produksi pesawat yang ada: NC212, CN235 serta helicopter NBO105, NBell412, NAS332 adalah program interim dan program pengembangan untuk menguasai teknologi pembuatan pesawat berstandard Barat secara lengkap (N250). Bisnis pesawat-pesawat ini tidak lagi mencukupi untuk bisa memenuhi “economies of scale”. IPTN praktis kehilangan bisnis yang menopang operasi perusahaan.
Kehilangan bisnis tidak hanya “menguras” keuangan, akan tetapi juga menghilangkan wahana untuk memelihara dan mengembangkan ketrampilan teknologi yang sudah dikuasai. “Brain-drained” sudah terjadi sekarang ini.
Stop produksi pesawat terbang
Berbeda dengan industri lainnya, industri pesawat terbang sangat tergantung pada komitmen pembeli atau customer. Bahkan keberadaan suatu proyek pesawat terbang ditentukan oleh customer-nya. Apabila komitmen dari potential customers cukup untuk dapat mencapai break-even dalam waktu cepat, pesawat tersebut baru mulai dirancang bangun dan dibuat. Sebaliknya, jika tak ada atau kurang komitmen dari customer walau secanggih apapun, pesawat tidak jadi dibuat, investasi tidak jadi dilakukan juga dan tidak ada production line. Ini terjadi dengan Boeing Sonic Cruiser, airliner 250 penumpang berkecepatan tinggi mendekati supersonic, karena tidak diminati, dibatalkan. Alternativenya, Boeing 787 yang lebih lambat tapi lebih efisien yang dipilih. Customer lebih memilih efisien dari pada teknologi (kecepatan).
Jika anda pernah meninjau pabrik pesawat Boeing di Everett, Seattle, anda pasti pernah juga melihat spanduk besar ditembok hangar produksi bertuliskan: “Without the Customer there is no Production line.”
Sekarang anda bisa bayangkan untuk kasus IPTN: Apa yang terjadi dengan keuangan perusahaan jika investasi sudah tersedia lengkap dengan production-line dan sumberdaya manusianya, akan tetapi tidak ada atau jarang-jarang pembeli?
Jalan satu-satunya untuk menghentikan “bleeding” seperti sekarang ini adalah: menghentikan semua program produksi pesawat terbang ada saat ini,yaitu: NC212, CN235, helicopter NBO105, NBell412 dan NAS332.
Bila tidak menghentikan produksi pesawat-pesawat tersebut, konsekwensinya IPTN akan harus terus mengeluarkan biaya untuk operasional perusahaan dengan idle-capacity diproses assembly, final-assembly, system integration, flight-test dll. Biaya tetap yang harus dikeluarkan IPTN untuk ini bisa mencapai sedikitnya 22 miliar perbulannya, padahal hampir tidak ada penjualan pesawat (22 miliar rupiah senilai dengan margin maksimum penjualan 2 pesawat CN235). Memudarnya ketrampilan dan penguasaan teknologi akibat langkanya beban kerja pada tenaga-tenaga trampil teknologi tinggi memperberat kerugian IPTN.
Untuk pelaksanaan menghentikan program produksi pesawat terbang yang sudah menjadi citra IPTN ini tidaklah mudah, terutama karena menyangkut realokasi personil dan PHK sebagian besar karyawan dan manajemen IPTN. Tapi ini harus dilakukan bila IPTN masih ingin tetap beroperasi. Bahkan kesempatan menjadi terbuka untuk IPTN memulai kembali merancang-bangun ulang, mengembangkan dan memproduksi pesawat pengganti N250 yang lebih diminati pasar global dengan team yang lebih kecil tapi efisien dan fokus.
Dukungan penuh dan bantuan pemerintah sangat dibutuhkan untuk melaksanakan ini.
Fokus: 1.75miliar dollar Aerostructures.