Dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945, sebagai hukum dasar tertulis dan konstitusi pemerintahan negara Republik Indonesia, tertulis, "... maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang mencerdaskan kehidupan bangsa." Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa para pendiri bangsa memiliki visi tentang betapa pentingnya pendidikan bagi masa depan bangsa.
Kalau kita ingin jujur, segala permasalahan bangsa Indonesia yang ada saat ini, solusinya bermuara pada mutu pendidikan yang tinggi.
Masalah ketenagakerjaan seperti pengangguran dan serbuan tenaga kerja asing, masalah kesehatan, masalah penegakan hukum dan hak asasi manusia, masalah korupsi, masalah energi, masalah pangan, masalah terorisme, masalah radikalisme, masalah intoleransi, dan lain sebagainya akan dapat ditemukan solusinya dengan jauh lebih mudah apabila tingkat kecerdasan bangsa tinggi.
Sayangnya sejak 74 tahun yang lalu, masih belum terbentuk pemerintahan yang serius melaksanakan amanat konstitusi tersebut.
Setiap tahun, pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan 20 persen dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan jumlahnya terus meningkat.
Anggaran pendidikan yang dibagi ke beberapa Kementerian dan Pemerintah Daerah dalam bentuk Transfer Daerah pada 2014 sebanyak Rp367,02 triliun dan terus meningkat hingga Rp508 triliun pada tahun 2020.
Walaupun demikian, meningkatnya anggaran pendidikan tidak berarti meningkatkan mutu pendidikan Indonesia.
Data yang terpampang dalam situs web Pusat Penilaian Pendidikan (Puspendik) - Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dari hasil Indonesian National Assessment Programme (INAP) menyebutkan bahwa hanya sedikit anak-anak yang menguasai mata pelajaran dengan baik yakni matematika 2,29 persen, membaca 6,06 persen, dan sains 1,01 persen.
Sementara dalam level penguasaan kurang, matematika 77,13 persen, membaca 44,83 dan sains 73,61 persen. Sisanya berada dalam level cukup.
Begitu juga dengan rerata nilai Ujian Nasional (UN) SMP yang terus mengalami penurunan dari 61,81 pada tahun pelajaran 2014/2015 turun menjadi 50,80 pada tahun pelajaran 2017/2018. Hal serupa juga dialami rerata nilai UN SMA/MA dari 58,27 pada 2014/2015 turun menjadi 50,80 pada tahun ajaran 2017/2018. Untuk SMK juga mempunyai kecenderungan serupa yakni terus turun dari 62,15 pada 2014/2015 menjadi 45,21 pada 2017/2018.