Menanggapi kondisi diatas, Kemendikbud selalu berkilah bahwa penurunan rerata nilai dikarenakan pelaksanaan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) yang lebih mengedepankan integritas.
Namun membiarkan penurunan rerata nilai UN merupakan suatu bukti belum seriusnya pengelolaan sistem pendidikan nasional yang bermutu tinggi.
Di tingkat internasional, pendidikan Indonesia menempati sejumlah posisi buncit. Peringkat Programme for International Student Assessment (PISA) atau Program Penilaian Pelajar Internasional Indonesia berada di urutan 10 besar terbawah.
PISA mengukur tiga kemampuan yakni matematika, sains dan membaca bagi siswa yang berusia 15 tahun. Celakanya lagi, kompetensi-kompetensi dasar tersebut tidak berkembang sama sekali alias stagnan dalam 18 tahun terakhir. Kondisi yang berbanding terbalik dengan anggaran pendidikan yang semakin meningkat dan telah terpakai ribuan triliun uang rakyat ini.
Begitu juga untuk peringkat penilaian matematika dan sains internasional atau Trends in International Mathematics and Science Study (TIMS) menempati posisi 40 dari 42 negara.
Kalah jauh dibandingkan negara-negara tetangga kita. Laporan dari badan pendidikan, sains dan budaya Perhimpunan Bangsa-bangsa (PBB) yakni UNESCO menyebutkan hanya satu dari 1.000 orang Indonesia yang memiliki minat baca serius yang berakibat ditingkat literasi bangsa Indonesia yang menduduki peringkat 60 dari 61 negara menurut kajian dalam World Literacy yang dibuat oleh Central Connecticut State University.
Di pendidikan tinggi, peringkat universitas juga tidak lebih baik dari pendidikan dasar, data QS World University Ranking menempatkan perguruan tinggi di Tanah Air di urutan 39 dari 50 negara dan Universitas21 di peringkat 50 dari 50 negara.
Beberapa artikel tentang pendidikan Indonesia cukup menyayat hati seperti: Anak Indonesia Tidak Tahu Betapa Bodohnya Mereka; Ternyata 42% Anak Indonesia Tidak Ada Gunanya; Indonesia Negara Kumpulan Anak Dungu, yang merupakan tulisan Elizabeth Pisani seorang penulis berkebangsaan Amerika Serikat.
Kajian dari Centre for Education Economics dari Inggris yang dipublikasikan tahun lalu juga cukup membuat emosi bagi orang Indonesia dimana dikatakan bahwa anak Indonesia siap menghadapi abad 21 di abad 31 karena adanya complacency artinya menganggap semua baik-baik saja alias adanya kepuasan diri yang tinggi dengan kondisi yang ada.
Rendahnya mutu pendidikan kita ini, berdampak pada karakter siswa. Kita sungguh terkaget-kaget, melihat beraninya seorang siswa menantang dan mencekik guru ketika ditegur.
Kita juga terheran-heran, bagaimana mungkin seorang siswa berani mengolok-ngolok gurunya sendiri. Dan kita juga tak bisa mempercayai, bagaimana seorang murid memukul gurunya hingga meninggal dunia.