Kelima, sarana dan prasarana pendidikan juga mengalami kendala. Sebanyak 75 persen sekolah di Indonesia tidak memenuhi standar layanan minimal pendidikan.
Bagaimana berbicara Revolusi Industri 4.0, jika UNBK belum bisa 100 persen, server bermasalah, Dapodik juga mempunyai kendala. Hal seperti itu perlu mendapatkan perhatian lebih.
Keenam, tupoksi antar lembaga pelaksana pendidikan nasional masih belum jelas. Misalnya untuk masalah sentralisasi atau otonomi daerah, kalau otonomi daerah mengapa madrasah masih dibawah pemerintah pusat.
Sementara kalau sentralisasi, mengapa Kemendikbud tidak punya otoritas mengatur guru. Pemerintah daerah juga tidak memiliki program sendiri, cenderung meniru Kemendikbud. Selain itu, pemerintah daerah lebih memilih berkoordinasi dengan Kemendagri dibandingkan Kemendikbud.
Intinya perlu pembaharuan sistem pendidikan nasional karena UU no.20 tahun 2003 ini sudah tidak up to date lagi karena secara nyata belum mampu mencerdaskan bangsa dan UU ini dibuat pra konsep Revolusi Industri 4.0.
Sebuah berita gembira ketika Revisi UU Sisdiknas sudah masuk kedalam program legislasi nasional (prolegnas). Indonesia butuh cetak biru (grand design) pendidikan yang mumpuni sehingga tidak akan dan tidak terpengaruh oleh kepentingan politik baik di pusat maupun daerah.
Bangsa Indonesia menaruh harapan besar pada Presiden Joko Widodo untuk benar-benar peduli dengan kondisi pendidikan di Tanah Air. Presiden butuh memenuhi janji kampanyenya dimana pendidikan dijadikan prioritas utama.
Semoga kabinet yang telah dibentuk, terutama dengan ditunjukknya Nadiem Makarim sebagai Mendikbud, akan serius mewujudkan amanat konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan yang memiliki kepentingan agar bangsa ini tetap bodoh dengan tujuan untuk mengambil keuntungan bagi pribadi atau kelompok tertentu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H