Saya memang belum lama terjun dibidang pendidikan, baru kurang lebih 17 tahun saja, dan sejak awal sudah menjadi penggiat pendidikan berbasis teknologi informasi dan komunikasi, membantu implementasi teknologi di belasan ribu sekolah.
Setahun belakangan ini saja, saya pribadi (bukan lembaga) telah berhasil memberikan pelatihan kepada kurang lebih 10,000 orang guru diberbagai tempat di Indonesia mulai dari kota-kota besar, kota-kota kecil, pedesaan, dan kepulauan, dari ujung Barat di Aceh sampai ujung Timur di Papua. Itupun hanya yang menggunakan konsep "blended learning" atau perpaduan antara tatap muka dan daring.
Angka tersebut belum termasuk pelatihan yang dilakukan dalam jaringan baik menggunakan teknologi video conference atau yang menggunakan aplikasi Whatsapp dan Telegram. Mengapa angkanya begitu besar dalam waktu yang singkat?
Jawabannya adalah pemanfaatan teknologi digital. Dengan memanfaatkan teknologi, saya bahkan bisa membuat lokakarya untuk guru (bukan seminar) yang diikuti oleh 314 orang dalam satu waktu dan sangat aktif.
Dan teknologi digitalnya sudah berada ditangan mereka selama ini, hanya menggunakan ponsel cerdas saja. Bagaimana kualitasnya? Para pendidik merasa sangat terbantu dan testimoni bisa dilihat pada akun sosial media saya yang terbuka untuk konsumsi publik.
Masyarakat mengenal saya sebagai praktisi teknologi pendidikan karena hal-hal seperti ini yang selalu saya angkat termasuk di media televisi, radio, cetak, maupun online.
Karena spesialisasi saya tersebut, setiap hari banyak pendidik yang mengirimkan saya berbagai artikel dan tulisan tentang dampak negatif dari penggunaan gadget serta berbagai alasan untuk menghindari penggunaannya, bahkan akhir-akhir ini semakin banyak porsi dan frekuensinya. Ternyata banyak pendidik yang tidak sepaham dengan saya dan itu wajar-wajar saja.
Sebagai pendidik yang harus selalu terbuka akan berbagai macam sudut pandang, saya tidak pernah menampik fakta bahwa banyak dampak negatif yang muncul, namanya juga buatan manusia, tetapi karena itu pulalah perlunya pandangan penyeimbang dengan demikian para pendidik dan orang tua dapat membimbing generasi penerus bangsa dalam menggunakan gadget agar bermanfaat dalam kehidupan.
Beberapa hari yang lalu, senior saya dalam dunia pendidikan, Bapak Haidar Bagir, menuliskan opininya di Harian Kompas berjudul Sekolah Anti-Gadget. Sebuah opini yang menarik tentang pendidikan dari satu sudut pandang.
Sebagai seorang praktisi pendidikan, saya rasa perlu memberikan pandangan dari sisi lain agar seimbang. Tulisan ini bukan bermaksud untuk mendiskreditkan siapapun, dan untuk itu saya menghaturkan permohonan maaf yang sebesar-besarnya dulu di awal tulisan apabila ada pihak-pihak yang merasa tersinggung dengan tulisan ini. Tidak ada maksud untuk menyinggung perasaan siapapun juga, hanya pandangan akademis saja.
Jika kita mengacu pada 4 pilar pendidikan yang disusun oleh UNESCO, maka didalam sistem pendidikan wajiblah ditumbuhkan kemampuan-kemampuan berikut: Learning to Know (belajar untuk mengetahui), Learning to Do (belajar untuk melakukan sesuatu), Learning to Be (belajar untuk menjadi sesuatu), dan Learning to Live Together (belajar untuk hidup bersama).
Banyak kontradiksi yang muncul pada tulisan Sekolah Anti-Gadget terhadap 4 pilar pendidikan tersebut. Pertama, kata 'Anti' yang dipilih menjadi judul dapat diartikan sebagai penolakan atau menutup diri akan adanya perubahan, yang tentunya menjadi antitesa dari 4 pilar pendidikan. Yang kedua, semua orang tahu semua informasi dapat diakses kapanpun dan dimanapun menggunakan gadget.
Menurut saya sangatlah mustahil membekali murid tentang belajar untuk mengetahui dengan menolak menggunakan alat yang menghubungkan siswa dengan sumber-sumber informasi. Kondisinya tentu sangat berbeda jika dibandingkan dengan era pra-internet dimana informasi sangatlah terbatas dan sulit dijangkau.
Di zaman saya sekolah, guru menjadi satu-satunya sumber belajar sehingga butuh konsentrasi penuh dalam kelas agar dapat menyerap informasi. Inilah salah satu perbedaan antara para pendidik yang disebut digital immigrants dengan peserta didik yang digital native menurut Marc Prensky (Digital Native Digital Immigrants, 2001).
Ketiga, sudah terbukti dengan adanya ponsel cerdas dan aplikasi seperti Youtube, manusia dapat belajar melakukan apa saja tanpa harus ada yang mengajarinya seperti cara memasak, membuat kue, memperbaiki sesuatu, bicara didepan umum, menggunakan aplikasi komputer, dan lain sebagainya.
Adanya kemajuan teknologi ini makin memudahkan para pendidik dalam mengajarkan melakukan banyak hal apalagi yang bersifat baru. Contohnya, saya sudah dapat membuktikan para guru, mereka bukan guru komputer, mampu belajar coding / membuat aplikasi digital tanpa diajarkan coding. Saat pelatihan saya cukup menjadi fasilitator dan penyemangat mereka.
Hasilnya mereka mampu membuat aplikasi-aplikasi sendiri sesuai dengan kreatifitas mereka. Guru-guru inipun sudah mampu memberikan pelatihan coding ke siswa.
Dan dua minggu lalu, diadakan unjuk kreasi siswa di Kemdikbud dan jujur saya tercengang karena aplikasi yang dibuat siswa, saya sebagai pelatih gurunya dengan jujur mengakui tidak mampu membuat aplikasi secanggih itu. Saya tidak malu karena saya tidak mampu membuat apa yang siswa buat karena tujuan saya adalah memaksimalkan potensi mereka, mereka harus mampu berinovasi sendiri.
Era ini guru tidak lagi dituntut membuat siswa meniru apa yang bisa dibuatnya tetapi justru mendorong mereka untuk menciptakan hal-hal baru. Beberapa hal menarik yang sudah saya implementasikan adalah saat siswa diminta membuat vlog dengan materi pembelajaran.
Mereka menguasai materi tanpa merasa dipaksa untuk belajar bahkan motivasinya meningkat karena membayangkan dirinya memiliki banyak follower seperti para vlogger terkenal. Inilah manfaat teknologi dalam dunia pendidikan.
Satu hal yang tidak diketahui banyak pendidik dalam implementasi pembelajaran modern, penggunaan gadget tidak harus dipakai didalam kelas. Siswa akan menggunakan gadget diluar jam pelajaran untuk mempelajari materi baik learning to know maupun learning to do, sedangkan didalam kelas siswa menggunakan informasi dan keterampilan yang dipelajari diluar kelas untuk ditunjukkan pemanfaatannya dalam kehidupan nyata.
Dalam penerapan pendidikan modern, tidak ada lagi guru yang perlu mengajar didepan kelas, semua bentuk ajaran diubah ke format digital yang bisa diakses melaui gadget kapanpun dan dimanapun. Jam tatap muka didalam kelas digunakan untuk melatih penalaran tinggi dari siswa (HOTS) dengan bentuk paparan, diskusi, bedah kasus, debat, storytelling dan lain sebagainya.
Konsep ini sering disebut dengan flipped learning atau model pembelajaran yang terbalik dari masa sebelumnya. Ini adalah konsep yang digunakan pada pendidikan di era 4.0.
Satu hal yang perlu diluruskan, Waldorf School bukanlah sekolah yang anti gadget, mereka justru menerapkan konsep flipped learning ini secara optimal, siswapun mengerjakan segala tugas menggunakan gadget, hanya saja saat jam tatap muka gadget tidak dizinkan karena memang tidak perlu.
Dengan demikian dapat kita lihat problemnya adalah generation gap, saat pendidik masih menggunakan mindset dan pola 3.0 tetapi teknologinya 4.0 tidak akan bertemu konsepnya. Pada acara silaturahmi dengan Mendikbud hari Kamis minggu lalu, saya menyampaikan temuan akan implementasi dari pendidikan modern adalah proses UNLEARN dari para pendidik.
Mendiang Alvin Toffler menyampaikan bahwa literasi abad 21 adalah kemampuan untuk LEARN, UNLEARN, dan RELEARN. Para pendidik harus UNLEARN dulu konsep-konsep pedagogi era 3.0 yang pra teknologi digital sebelum RELEARN pedagogi 4.0, dan Mas Menteri setuju bahwa prosesnya panjang, minimal 6 bulan, beliau bahkan yakin kalau butuh waktu yang lebih lama.
Yang keempat, dari pilar Learning to Be, kira-kira anak-anak kita akan menjadi apa? Coba renungkan, di tahun 2019 untuk bekerja sebagai tukang pijat atau asisten rumah tangga saja membutuhkan gadget sebagai alat bantu untuk mendapatkan klien. Itu alat kerja saat ini.
Apakah masuk akal sekolah yang digadang-gadang sebagai lembaga yang mempersiapkan peserta didik dimasa depan tetapi menolak menggunakan alat kerja yang sudah digunakan oleh pekerja yang bahkan disebut pekerja tidak terdidik saat ini?
Harusnya justru perlu peneguhan bahwa gadget adalah buatan manusia, artinya manusia yang menjadi tuan dari gadget dan dipakai untuk membantu mengerjakan tugas manusia bukan sebaliknya.
Para pendidik juga harus tahu bahwa masa depan dan karir anak-anak didiknya juga akan terpengaruh dengan jejak digitalnya. Perekrutan pegawai, mitra, dan peningkatan karier saat ini selalu melihat jejak digital dari yang bersangkutan mulai dari apa yang ditulis di media sosial, pertemanan, dan unggahan-unggahan yang dahulu kala tidak menjadi pertimbangan.
Yang terakhir, dalam opini Sekolah Anti-Gadget disampaikan bahayanya menggunakan gadget karena adanya cyberbullying, internet pornografi, pengintaian kapitalisme, dan lain sebagainya.
Pertanyaan saya sebagai seorang pendidik, bagaimana cara mereka menghadapi hal-hal tersebut jika mereka tidak pernah dibimbing? Ini yang dimaksud dengan Learn to Live Together. Kita semua tahu salah satu problema besar yang dihadapi era sekarang adalah bagaimana menghadapi serangan hoax dan berita-berita palsu.
Apakah dengan menolak penggunaan gadget disekolah menjadi solusi terhebat dalam belajar hidup bersama di zaman digital ini? Bagaimana mereka bisa membedakan mana hoax mana bukan jika ini bukan menjadi bagian dari program pendidikan. Belum lama ini ada beberapa anggota TNI yang dicopot jabatannya hanya karena status yang dibuat di media sosial oleh istri-istrinya.
Harusnya kasus-kasus itu menjadi bagian penting dalam pendidikan karakter anak untuk hidup bersama di era digital ini. Pendidikan karakter bukan berarti menolak atau melarang sesuatu, melainkan mencerdaskan peserta didik agar mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk kemudian mengambil keputusan sendiri.
Janganlah kita merampas masa depan anak-anak didik kita hanya karena kita malas atau tidak mau mungkin juga tidak mampu untuk menyesuaikan pola pendidikan yang sesuai dengan eranya, seperti yang disampaikan John Dewey, tokoh pendidikan Amerika Serikat.
Memang gadget adalah suatu barang yang asing dan bisa jadi menakutkan untuk kita. Tetapi seperti nasihat tokoh-tokoh dunia mulai dari Napoleon, Confucius, Hellen Keller, Dale Carnegie, sampai Nelson Mandela, untuk mengatasi ketakutan, kita harus berhadapan langsung dengan yang menakutkan kita itu bukan dihindari.
Melarang penggunaan gadget tidak memberikan solusi dalam mempersiapkan diri mereka menghadapi masa depan. Hentikan menyalahkan gadget akan segala problema saat ini dan fokus kepada manusianya.
Gadget hanya alat yang tidak bisa dididik. Mari bersama kita bangun dan bimbing generasi emas bangsa ini sesuai dengan tantangan revolusi industri 4.0, SDM Unggul, Indonesia Maju.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H