Konsep ini sering disebut dengan flipped learning atau model pembelajaran yang terbalik dari masa sebelumnya. Ini adalah konsep yang digunakan pada pendidikan di era 4.0.
Satu hal yang perlu diluruskan, Waldorf School bukanlah sekolah yang anti gadget, mereka justru menerapkan konsep flipped learning ini secara optimal, siswapun mengerjakan segala tugas menggunakan gadget, hanya saja saat jam tatap muka gadget tidak dizinkan karena memang tidak perlu.
Dengan demikian dapat kita lihat problemnya adalah generation gap, saat pendidik masih menggunakan mindset dan pola 3.0 tetapi teknologinya 4.0 tidak akan bertemu konsepnya. Pada acara silaturahmi dengan Mendikbud hari Kamis minggu lalu, saya menyampaikan temuan akan implementasi dari pendidikan modern adalah proses UNLEARN dari para pendidik.
Mendiang Alvin Toffler menyampaikan bahwa literasi abad 21 adalah kemampuan untuk LEARN, UNLEARN, dan RELEARN. Para pendidik harus UNLEARN dulu konsep-konsep pedagogi era 3.0 yang pra teknologi digital sebelum RELEARN pedagogi 4.0, dan Mas Menteri setuju bahwa prosesnya panjang, minimal 6 bulan, beliau bahkan yakin kalau butuh waktu yang lebih lama.
Yang keempat, dari pilar Learning to Be, kira-kira anak-anak kita akan menjadi apa? Coba renungkan, di tahun 2019 untuk bekerja sebagai tukang pijat atau asisten rumah tangga saja membutuhkan gadget sebagai alat bantu untuk mendapatkan klien. Itu alat kerja saat ini.
Apakah masuk akal sekolah yang digadang-gadang sebagai lembaga yang mempersiapkan peserta didik dimasa depan tetapi menolak menggunakan alat kerja yang sudah digunakan oleh pekerja yang bahkan disebut pekerja tidak terdidik saat ini?
Harusnya justru perlu peneguhan bahwa gadget adalah buatan manusia, artinya manusia yang menjadi tuan dari gadget dan dipakai untuk membantu mengerjakan tugas manusia bukan sebaliknya.
Para pendidik juga harus tahu bahwa masa depan dan karir anak-anak didiknya juga akan terpengaruh dengan jejak digitalnya. Perekrutan pegawai, mitra, dan peningkatan karier saat ini selalu melihat jejak digital dari yang bersangkutan mulai dari apa yang ditulis di media sosial, pertemanan, dan unggahan-unggahan yang dahulu kala tidak menjadi pertimbangan.
Yang terakhir, dalam opini Sekolah Anti-Gadget disampaikan bahayanya menggunakan gadget karena adanya cyberbullying, internet pornografi, pengintaian kapitalisme, dan lain sebagainya.
Pertanyaan saya sebagai seorang pendidik, bagaimana cara mereka menghadapi hal-hal tersebut jika mereka tidak pernah dibimbing? Ini yang dimaksud dengan Learn to Live Together. Kita semua tahu salah satu problema besar yang dihadapi era sekarang adalah bagaimana menghadapi serangan hoax dan berita-berita palsu.
Apakah dengan menolak penggunaan gadget disekolah menjadi solusi terhebat dalam belajar hidup bersama di zaman digital ini? Bagaimana mereka bisa membedakan mana hoax mana bukan jika ini bukan menjadi bagian dari program pendidikan. Belum lama ini ada beberapa anggota TNI yang dicopot jabatannya hanya karena status yang dibuat di media sosial oleh istri-istrinya.