Mang Deni bercerita ketika awal kelas dimulai dari Ibu-ibu PKK memberi banyak penyuluhan terkait Keluarga, kemudian muncullah problema lainya untuk anak - anak digelarlah berbagai kelas untuk anak dari Baca Tulis Hitung sampai Bahasa Inggris.
Berlanjut dari situ kemudian ke pencak silat, bikin kolam, seni musik, sampai mobile-legend. Betapa semuanya berawal dari ruang penerimaan dan kesempatan untuk saling mengisi, ketika Ruang sudah ada jalan saja.Â
Jalan Sakola Motekar kemudian menemui banyak persambungan lainnya, dari komunitas pengamen, genk motor, dll. Ruang pendidikan yang lebih egaliter ini bisa menampung banyak aspirasi lagi.Â
Kelas-kelas kemudian dibuka lagi lebih luas, dari Pencak Silat, main Gitar, Videografi, Fotografi, dan beragam hal lainnya yang semua orang kini tidak hanya menjadi murid, tetapi juga banyak orang yang bersedia menjadi guru melihat antusiasisme atas kemanfaatan Sakola Motekar.
Dari yang sambil jalan, kemudian menemukan banyak jalan. Saya teringat di kampung saya di Jawa, memang ada idiom semacam ini ngelmu iku kalakone kanthi laku, berilmu itu hanya bisa terjadi ketika manusia sudah melaksanakan laku, melangkah, dan dari perjalanan itulah akan didapati ilmu baru, khazanah serta manfaat baru.Â
Problem, Potensi dan Solusi
Salah satu hal yang menarik untuk diamati di Sakola Motekar adalah kemampuannya menjawab realitas persoalan di sekeliling. Mengamati problem sekitar, kemudian mengulik apa saja potensi yang dimungkinkan bisa jadi jawaban, kemudian membuat solusi atas permasalahan.Â
Yang membedakan Motekar dengan pendidikan pada umumnya tentu karena Motekar berakar kepada keseharian, solusinya kemudian juga mengambil dari sekeliling, dari lingkaran, ulang-alik ini menarik.Â
Karena pada umumnya setiap persoalan pendidikan dijawab dengan konsep-konsep dari luar lingkaran itu sendiri, Â bisa jadi malah kurang produktif karena sama sekali tidak menyasar persoalan inti.
Hal ini senada dengan Ivan Illich dalam bukunya "deschooling society" yang mengungkapkan terlalu percaya dan menggantungkan pada sistem pendidikan formal yang dibuat pemerintah, mematikan kepercayaan diri mereka bahwa mereka mampu menjawab persoalan secara mandiri.Â
Jika kita berkaca di frame yang lain, di beberapa desa di jawa tidak ada kursus menjadi petani, tidak ada kursus menjadi tukang kayu apalagi kursus bengkel, warga cukup ikut saja terjun ke sawah, ke bengkel memperhatikan dan belajar disitu, tanpa perlu sekolah. D