Mohon tunggu...
Indra Agusta
Indra Agusta Mohon Tunggu... Wiraswasta - hologram-Nya Tuhan

Cantrik di Sekolah Warga, Suluk Surakartan dan Sraddha Sala

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Virus, Depresi, dan Laba Siapa?

7 Maret 2020   04:55 Diperbarui: 7 Maret 2020   05:20 513
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh : Indra Agusta

Wabah memang telah menemani peradaban manusia ribuan tahun lalu. Dari penyakit sampar,SARS, flu burung sampai Corona. Jika dilihat dari kacamata agak lebar, memang akhirnya menjadi hal yang biasa saja. 

Disetiap waktu akan ada seperti itu, tanpa melupakan bahwa memang sudah ada nyawa melayang disetiap wabah. Namun apakah benar ini wabah? Atau siapa yang mengambil keuntungan dibalik ini semua?

Homo Deus karya Yoval Noah Hararri sudah menjelaskan dengan gamblang, bahwa progresi umat manusia kedepan memang tidak mengurusi soal penyakit. Karena presentasenya selalu menurun, teknologi kesehatan terbukti mampu meredam banyak kematian karena penyakit. 

Tidak ada lagi pes yang berkembang menjadi black-death yang membunuh 200 juta penduduk eropa di abad XIV. 

Perjuangan kita selanjutnya adalah ketika kesehatan sudah diraih, kemudian perang juga sudah tidak lagi marak seperti yang pernah dibahas Jared Diamond di Gun, Germ and Steel. Maka etape selanjutnya persis seperti yang dianalisis Harrari akhir-akhir ini manusia akan kejar-mengejar kebahagiaan.

Wabah adiksi untuk terus berbahagia
Apapun bentuknya meskipun usia rata-rata manusia di dunia tak sepanjang dulu -sangat mungkin karena pola makan dan gaya hidup, juga kualitas lingkungan yang juga terus menurun- manusia modern mengejar apapun yang membahagiakan mereka. 

Bisa lewat makan, mabuk, travelling, stay-cation, me time, musik, bercakap, bertatap, atau bentuk lain seperti ikut pengajian, kebaktian kebangunan rohani, sampai kecanduan komik dan manga. Semua manusia punya standarnya masing-masing.

Yang perlu dipikirkan adalah ketika tidak ada perang dan wabah siapa yang menjadi pembunuh utama manusia? Apakah perubahan musim? Atau stress?. Sisanya mau tidak mau kita akan dihadapkan pada overpopulasi. 

Sebuah kondisi dimana manusia dimuka bumi ini pada wilayah tertentu kepadatannya menjadi bertambah. Dan didalam overpopulasi akan semakin bertambah pula persaingan, konflik, peluang dan tentu adalah perjuangan untuk mendapatkan kebahagiaan itu sendiri.

Yang saya amati hari-hari ini bahwa semakin padatnya penduduk, terus menerus menurunkan kebahagiaan seseorang. Jakarta mungkin etalase yang tepat, dimana kita bisa mendengar umpatan didalam KRL, berdesakan masuk bus-way, atau ramainya anak-anak bolos dan nongkrong di jembatan penyebrangan dengan segala yang ingin dicapainya. 

Manusia ini dituntut untuk terus hidup, bertahan dan melampiaskan segala egonya, terkadang letih menggurat diwajah-wajah itu ketika sore hari. Dan kesesakannya kian terasa dimalam hari, mereka yang segera tertidur ketika sampai ranjang, rumah tangga yang beku, anak-anak yang tak sempat bertemu orang tua mereka ketika terbangun dan pulang.

Semua membawa konsekuensi. Dan memang demikianlah kalau boleh saya katakan wabah, atau penyakit yang mematikan akhir-akhir ini ya stress, depresi itu sendiri. 

Beruntung mereka yang tahu kenapa mereka bisa depresi, kebanyakan malah tidak tahu sama sekali apa yang menerpanya, hanya gamang, tidak tahu arah, tidak tahu mengapa mereka bisa sepenat itu. Lalu kendali atas diri juga jomplang dan harus diungkapkan begitu saja dalam beragam bentuknya. Salah satunya adalah game online.

Oktober 2019, Rumah Sakit Jiwa Solo hampir setiap hari menerima pasien dengan gejala kecanduan akut akan game online via smartphone. Ini mungkin yang ingin saya tuliskan sebagai wabah sebenarnya, ketika banyak orang tidak tahu kemana penyaluran dari penat, stress dan depresi mereka akhirnya peluang itu ditangkap oleh kartel dan menciptakan stimulan "kemenangan palsu" dalam gawai. Bahkan kemudian WHO mempublikasikan jurnal bahwa adiksi dari game online ini merupakan penyakit mental.

Apakah tiba-tiba anak-anak ini kecanduan tentu tidak, mereka hanya mencari luapan, sementara tugas kuliah/sekolah menguras energi dan waktu mereka. Waktu untuk berlibur seperti tidak ada, belum lagi budget pendukungnya belum tentu ada. Lantas gawai menjadi solusi tuntas yang tidak makan waktu dan perjalanan, mereka bisa mengakses dimana saja, lalu berdistraksi kedalam luapan kenikmatan berselancar. Setidaknya saya amati ada beberapa anak meskipun tidak memainkan game online, mereka tetap kecanduan sosmed, melihat jumlah viewers dalam status WA, maupun Instagram-nya berulang-ulang agar hatinya tenang ada orang yang mengamatinya. 

Perasaan ini tentu akan dibarengi paradoks perasaan insecure ketika mereka tidak mendapatkan perhatian lewat tools viewers di gawai mereka. Lalu stress melanda adik-adik milenial dari hal-hal kecil seperti ini. Kepenatan mereka terbayar oleh gawai sekaligus menciptakan kepenatan yang lain.

Distraksi yang lain adalah kenikmatan berbicara, jika kita tak mendapatkannya lalu kita senang mendengar orang bercakap, berbicara. Youtube lalu jadi rujukan jutaaan pelanggannya, beragam konten soal percakapan menghiasi beranda trending-topic. 

Loncatan emosi melalui geliat orang bercakap ini seperti mendengar dongeng, atau menonton wayang. Pola yang sama mampu membuat milenial duduk berjam-jam dilayar demi menonton konten atau bahasan yang ingin mereka dengar.

Adiksi ini yang menurut saya menjadi sangat menarik, karena tidak seperti wayang yang orang pada segmen tertentu yang bisa menikmati laba dari pentas. Lewat internet akhirnya semua orang bisa membuat konten-nya sendiri, bisa men-cuan-kan apa yang dikontenkan. Sharing Prosperity.

Dalam kecanduan, kenikmatan, kebutuhan sebagai sarana re-freshing, bahkan hanya sebagai solusi membunuh waktu. Namun semua orang terus mencari kebahagiaan didalamnya. Dan seperti isu klasik disetiap perubahan akan  selalu ada pihak yang mengambil keuntungan dari situ.

Laba milik siapa?
Ketika wabah corona merebak di 70 negara tentu didalamnya ada Indonesia. Selain mereka yang bertanya menyoal asal-muasal, dampak, dan jumlah kematian, amatan berikutnya justru tertuju kepada semua pihak yang mengambil momentum wabah ini untuk kepentingan mereka. 

Ya, kembali ke atas tadi kita hidup dijaman dimana mendompleng trending-topic adalah sarana utama meluaskan wacana.

Coba amati siapa pihak yang turut berkomentar dari berbagai kementrian, otoritas keagamaan, mimbar dakwah, online-shop sampai meme-meme lucu di twitter. Belum lagi pendapat tokoh, uama, ustad mereka yang berkompeten di bidang kesehatan, sampai kepada narasi spiritualis semua berbaur ketika ada trending terjadi. Benar --benar luar biasa. Belum lagi  pendapat ustad, budayawan,  mereka yang berkompeten di bidang kesehatan, sampai kepada narasi spiritualis semua berbaur ketika ada trending terjadi. Benar --benar luar biasa.

090382000-1570150702-4-viapuspital-5e62cb3cd541df506a42fb18.jpg
090382000-1570150702-4-viapuspital-5e62cb3cd541df506a42fb18.jpg
Hal seperti ini sama sekali bukan hal yang baru, dalam jangka waktu setahun mungkin kalian bisa mengamati beragam trending topic yang dimanfaatkan oleh beragam pihak. Sebagai contoh misalnya Joker, nanti kita cerita tentang hari ini, atau KKN di desa Penari. 

Semua pihak memanfaatkan untuk keuntungan mereka masing-masing, memasang jargon mereka, mendakwahkan ajaran agama, mentranfer ideologi, dan banyak lainnya untuk kepentingan materialisme belaka. Trending topic adalah sarana iklan yang ampuh untuk mempromosikan produk, menggaet keuntungan sebanyak-banyaknya.

Tak hanya trending topic film terkadang juga menjadi titik penentu kabar, apa yang "laku" untuk diperjual belikan industri layar ini. Seberapa kuat sebuah isu sosial bisa menggaet jumlah penonton di bioskop. 

ad-5e62ccbc097f3666b564fc84.jpg
ad-5e62ccbc097f3666b564fc84.jpg
Apakah wabah pernah menjadi trigger industri? Tentu iya. Setidaknya Indonesia pernah membuat film Aruna dan Lidahnya atau di luar negeri ada World War Z, Train to Busan dan rentetan film Resident Evil. Semua laku keras dan menemukan penontonnya.

Perasaan yang takut, manusia yang tak ingin sakit, pengalaman ancaman peradaban yang pernah melanda umat manusia, juga adalah kisah pilu kematian didalamnya menjadi hal yang menarik untuk dikonsumsi publik. 

Selain sebagai pengingat, adrenaline yang dipicu dari ketakutan terkadang menimbulkan adiksi pula. 

Adiksi ini yang kemudian menggerakkan kita untuk membeli tiket bioskop, adiksi ini pula yang memicu kita untuk terus menerus membeli kuota internet lintas provider supaya game online bisa kita terus mainkan, memacu rasa menang semu, dan tentu melepas penat demi tercapainya apa yang Sapiens kejar. Bahagia.

Dan perasaan kemudian menjadi sebuah komoditas, selain sebagai sarana untuk meledakkan rasa mereka. Hukumnya terus berlaku disetiap krisis selalu ada yang mengambil keuntungan, jika kamu pihak yang ingin memanfaatkan momentum tersebut, kenapa bukan kamu yang mengambil keuntungan?

Selamat berburu kebahagiaaan, dan menjauhi depresi. Sebelum menuju kekekalaan dan keabadian.

Sragen, 07 Maret 2020
Indra Agusta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun