Manusia ini dituntut untuk terus hidup, bertahan dan melampiaskan segala egonya, terkadang letih menggurat diwajah-wajah itu ketika sore hari. Dan kesesakannya kian terasa dimalam hari, mereka yang segera tertidur ketika sampai ranjang, rumah tangga yang beku, anak-anak yang tak sempat bertemu orang tua mereka ketika terbangun dan pulang.
Semua membawa konsekuensi. Dan memang demikianlah kalau boleh saya katakan wabah, atau penyakit yang mematikan akhir-akhir ini ya stress, depresi itu sendiri.Â
Beruntung mereka yang tahu kenapa mereka bisa depresi, kebanyakan malah tidak tahu sama sekali apa yang menerpanya, hanya gamang, tidak tahu arah, tidak tahu mengapa mereka bisa sepenat itu. Lalu kendali atas diri juga jomplang dan harus diungkapkan begitu saja dalam beragam bentuknya. Salah satunya adalah game online.
Oktober 2019, Rumah Sakit Jiwa Solo hampir setiap hari menerima pasien dengan gejala kecanduan akut akan game online via smartphone. Ini mungkin yang ingin saya tuliskan sebagai wabah sebenarnya, ketika banyak orang tidak tahu kemana penyaluran dari penat, stress dan depresi mereka akhirnya peluang itu ditangkap oleh kartel dan menciptakan stimulan "kemenangan palsu" dalam gawai. Bahkan kemudian WHO mempublikasikan jurnal bahwa adiksi dari game online ini merupakan penyakit mental.
Apakah tiba-tiba anak-anak ini kecanduan tentu tidak, mereka hanya mencari luapan, sementara tugas kuliah/sekolah menguras energi dan waktu mereka. Waktu untuk berlibur seperti tidak ada, belum lagi budget pendukungnya belum tentu ada. Lantas gawai menjadi solusi tuntas yang tidak makan waktu dan perjalanan, mereka bisa mengakses dimana saja, lalu berdistraksi kedalam luapan kenikmatan berselancar. Setidaknya saya amati ada beberapa anak meskipun tidak memainkan game online, mereka tetap kecanduan sosmed, melihat jumlah viewers dalam status WA, maupun Instagram-nya berulang-ulang agar hatinya tenang ada orang yang mengamatinya.Â
Perasaan ini tentu akan dibarengi paradoks perasaan insecure ketika mereka tidak mendapatkan perhatian lewat tools viewers di gawai mereka. Lalu stress melanda adik-adik milenial dari hal-hal kecil seperti ini. Kepenatan mereka terbayar oleh gawai sekaligus menciptakan kepenatan yang lain.
Distraksi yang lain adalah kenikmatan berbicara, jika kita tak mendapatkannya lalu kita senang mendengar orang bercakap, berbicara. Youtube lalu jadi rujukan jutaaan pelanggannya, beragam konten soal percakapan menghiasi beranda trending-topic.Â
Loncatan emosi melalui geliat orang bercakap ini seperti mendengar dongeng, atau menonton wayang. Pola yang sama mampu membuat milenial duduk berjam-jam dilayar demi menonton konten atau bahasan yang ingin mereka dengar.
Adiksi ini yang menurut saya menjadi sangat menarik, karena tidak seperti wayang yang orang pada segmen tertentu yang bisa menikmati laba dari pentas. Lewat internet akhirnya semua orang bisa membuat konten-nya sendiri, bisa men-cuan-kan apa yang dikontenkan. Sharing Prosperity.
Dalam kecanduan, kenikmatan, kebutuhan sebagai sarana re-freshing, bahkan hanya sebagai solusi membunuh waktu. Namun semua orang terus mencari kebahagiaan didalamnya. Dan seperti isu klasik disetiap perubahan akan  selalu ada pihak yang mengambil keuntungan dari situ.
Laba milik siapa?
Ketika wabah corona merebak di 70 negara tentu didalamnya ada Indonesia. Selain mereka yang bertanya menyoal asal-muasal, dampak, dan jumlah kematian, amatan berikutnya justru tertuju kepada semua pihak yang mengambil momentum wabah ini untuk kepentingan mereka.Â