Namun orkes keroncong Arum Manis tidak tampil hari itu. Dan aku pun pergi ke rumahnya, tetapi rumahnya sudah kosong melompong.Â
Hari itu juga, aku melaju ke arah Depok. Dan bermaksud menemui Pablo untuk bertanya, di mana Suri berada. Namun ternyata sia-sia. Rumah Pablo sudah hancur luluh lantak.Â
Bocah penjual daun jati yang kutemui bercerita, bagaimana kengerian yang menimpa para Mardijkers. Diserang dan diburu. Dan tak tahu kemana pergi.Â
Dua bulan berlalu, begitu banyak peristiwa. Masa Bersiap menelan korban jiwa. Perang Ideologi sesama anak bangsa, gesekan kepentingan, kekuasaan, dan kengerian pun merajalela. Hanya ada dua pilihan; hilang nyawa percuma atau berjuang untuk republik tercinta.Â
Berhari-hari aku mencari, tetapi tak dapat kutemukan Suri. Keadaan semakin genting. Perlawanan, kerusuhan dan pembunuhan di mana-mana. Bila bukan patroli Gurkha, maka komplotan perampok sadis yang akan menghadang. Sungguh, perjuangan terasa sulit untuk republik yang belum seumur jagung.Â
"Suri, di mana kau berada?" Kuhisap cerutu yang tersisa. Dan memasrahkan jalan cerita hari esok kepada Tuhan.Â
Suri akhirnya datang. Namun dengan wajah muram. Di malam sebelum aku membaca surat kabar, tentang peristiwa pembunuhan tentara sekutu di stasiun Senen, dan tertembaknya pimpinan Sekutu bernama Jenderal Mallaby di Surabaya.
Kukira Suri datang untuk menuntaskan kerinduanku. Namun ternyata tidak. Ia malah menyampaikan pesan perpisahan dan kata-kata penuh luka.Â
"Said, aku tak ingin berbohong lagi padamu! Ketakutanku saat ini, hanyalah terlalu jauh mencintaimu! Dan aku tak mau melakukan itu!" Tegas ia berkata. Namun ia tak mampu menahan air mata.Â
"Kenapa, apa yang salah?" Kuhapus air mata Suri dan menggenggam tangannya.Â
"Kita tak bisa bersama, Said. Aku sudah punya janji. Dan kau, sudah punya istri di Melaka!"Â