Suri bertanya, saat mengambil kembang gula yang kuberikan,"Said, kenapa kau dipanggil dengan nama itu? Bukankah namamu Sardi?"
"Dulu sewaktu aku bekerja di kapal dagang di Singapura, orang-orang Tionghoa mengira aku orang Arab, dan mereka salah melafalkan namaku," jawabku.Â
"Lantas, kenapa kau bisa jadi penyelundup?" lanjutnya, sembari asyik menikmati kembang gula.Â
"Hus, sebut saja pengusaha. Toh saat ini aku pun ikut berjuang, bukan," jawabku, seraya mencubit secuil kembang gula dari ujung bibir tipisnya.
Di bawah lembayung senja Jakarta, kami melanjutkan kebersamaan. Di dalam becak, kami melintasi kawasan Pancoran yang sepi.Â
Para pemuda terlihat merobek poster"Kemenangan Nippon Jang Gilang Goemilang," di depan restoran yang telah lama tutup, lalu mereka mencoret tembok dengan tulisan "We Are Free Nation!"
Suri menahan tawa, dan melirik kepadaku. Kami teringat masa-masa di mana Nippon sangat berkuasa. Kami pernah menculik serdadu yang mabuk berat, sehabis pertunjukan. Dan besoknya, segerombol Kempetai menemukannya tengah meraung-raung dengan tangan terikat di dalam gudang.Â
Dan tawa Suri akhirnya pecah, kala melihat seorang bocah gundul yang berlari sambil menangis di pinggir jalan.Â
Kami tiba-tiba teringat peristiwa, saat seorang pegawai Sendenbu bernama Saito, dipukuli warga kampung sampai lari terbirit-birit, karena mencoba membubarkan layar tancap sendirian. Â Â
Dua bulan berlalu setelah perjalananku di Malaysia. Bisnis barang mewah berganti bisnis penyelundupan senjata dari Johor. Usahaku semakin mudah, karena tentara republik sudah punya armada sendiri di Selat Malaka.
Di pagi yang dingin, kupacu Buick 1940 dari Marunda ke Kwitang. Tiba-tiba aku teringat akan Suri, dan berbelok ke arah Gambir untuk mencarinya.Â