Dua pekan lalu, Suri datang ke rumahku. Ia mengembalikan barang-barang pemberian dariku. Kalung emas, cincin perak, kebaya merah, dan piringan hitam orkes keroncong Lief Java. Namun ada hal yang tak dapat ia kembalikan; waktu, kata-kata manja, dan kembang gula.Â
Dua bulan sebelum Dai Nippon tiba di Batavia dan mengubah nama kota ini menjadi Djakarta, perang berkecamuk di mana-mana.Â
Keluarga Suri hanya tersisa ibunda seorang. Dan bapaknya, serdadu KNIL yang ikut menjaga sumur minyak di Tarakan, tewas di hari pertama Nippon menyerang Hindia-Belanda.Â
Dan sejak saat itu, Suri harus menafkahi keluarganya. Bergabung dengan orkes keroncong Arum Manis. Bernyanyi dari kampung ke kampung, dari kota ke kota. Dari pasar malam ke gedung pertunjukan.
Pada pentas keroncong di daerah Gambir, untuk pertama kalinya aku melihat Suri. Biduan cantik berkebaya, menyanyi sambil bermain ukulele. Paras bak bidadari, suara memikat. Menyihir jiwa-jiwa lara yang dahaga akan hiburan.Â
Di bawah panggung, kulihat ia dari dekat. Kharisma saat bernyanyi, hilang seketika. Kesan lemah lembut dan anggun, berganti sosok perempuan muda yang tegas dan pemberani.Â
"Kamu paham kan, Bung? Bung Karno berjuang dengan diplomasi, Bung Kecil berjuang dengan argumentasi! Dan kita sebagai seniman, harus berjuang dengan musik, lukisan atau puisi!"Â
Dalam obrolan singkat, Suri tak segan berbicara lantang soal nasionalisme, dan juga penindasan Nippon terhadap kaum jelata.Â
Dan sungguh, gaya bicara serta bahasa tubuhnya membuatku terkagum-kagum. Berbeda dengan kebanyakan perempuan yang kukenal, Suri memberi warna lain dalam hidupku. Kata-kata yang keluar dari bibirnya bak manifestasi artikel-artikel Rohana Kudus dan SK Trimurti.Â
Dengan bantuan Pablo, pemimpin orkes Arum Manis, malam itu aku berkesempatan berbincang dengan Suri. Mengenalnya lebih dekat dan membuat janji. Memang tak mudah. Namun setelah ia tahu pekerjaanku, Suri terlihat melunak.Â