Mohon tunggu...
Indra Rahadian
Indra Rahadian Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Swasta

Best In Fiction Kompasiana Award 2021/Penikmat sastra dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Mantan dalam Secangkir Espreso

12 November 2021   11:22 Diperbarui: 12 November 2021   11:41 1106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sepasang kekasih bersepeda di sore hari (Foto: Pexels Via Pixabay)

Kita biasa bersepeda di bawah langit sore. Melaju, berkejaran, dan tertawa sampai lemas. Merengkuh kemesraan sembari menikmati senja. Dan saat malam tiba, kita menerka nama-nama rasi bintang di atas dermaga. 

"Aku selalu percaya, cinta sejati takkan terpisahkan, Hans." Kata-kata dari bibir merah jambu itu seperti candu. Dan kini, kugenggam erat menjadi seikat janji. 

Dunia hitam-putih di hidupku. Hingga kau hadir memberi warna. Dapat kurasakan jingga saat kau tersenyum. Dan biru saat kau menangis. 

Dyah, dahulu kita saling menopang. Dan saat ini, kau pergi menghilang. Namamu, selalu ada di setiap rintisan masa. "Ah, sampai kapan aku harus berbicara pada diriku sendiri, seolah berbicara padamu?"  

"Espresso one shot?" 

"Ya!" 

Pesanan tiba, membuyarkan lamunanku tentang Dyah. Entahlah, kenangan itu selalu singgah di sela waktu. Dan berlalu. Kadang terlupakan, seakan kisah-kisah indah hanya khayalan. 

Kata orang, bila kita terbiasa menelan rasa pahit, maka manisnya kehidupan orang lain takkan membuat kita tergoda. 

Dan dalam seteguk espreso, aku belajar menikmati perasaan apapun yang timbul, meski kepahitan hidup sekalipun. Ekspres. Tanpa penyesalan.

"Maaf membuatmu menunggu, Hans." 

"Tak apa-apa." 

Riani datang dan meletakkan setumpuk dokumen di atas meja. Mendorong dua lembar surat perjanjian kerjasama ke arahku. 

Kubaca sekilas, dan mencantumkan tanda tangan di kolom tersedia. Tuntas. Dan aku dapat segera beranjak. "Ok, Terima kasih, Riani." 

"Latte macchiato!" 

Riani memesan minuman, mengangkat dua jari untuk menahanku pergi. Entah, apalagi yang diinginkan. "Oh, dan dua tuna sandwich," tambahnya. 

Dua cabang distro, telah kupasrahkan untuk memasarkan brand modiste miliknya. Sejak tahun lalu ia merengek ingin dibantu. Mulai dari memilih lokasi usaha, nama brand dan urusan sepele lainnya. 

Dan tepat minggu lalu, bila aku tak salah ingat. ia mengakui, semua itu dilakukan semata-mata karena ingin lebih dekat denganku. Konyol. Kurang dekat apalagi. Kami sudah berteman sejak taman kanak-kanak. 

"Kau punya waktu untuk membicarakan hal pribadi, Hans?" tanya Riani

"Nggak!" 

Dan kami membisu. Di sudut cafe yang beku. Barista memutar lagu Dandelions milik Ruth B. Mengiring gemericik hujan di luar sana. Langit Jakarta memang digulung mendung sedari pagi. 

Hingga pesanan selesai disajikan di atas meja. Riani tersenyum, menarik nafas panjang dan berkata, "Tak inginkah kau mengakhiri kesendirian, Hans?" 

"Riani, lelucon soal jomblo sudah tak lucu." 

"Jangan berkilah. Kau tahu maksudku!" Riani memaksakan bicara, meski mulutnya masih penuh. Ia selalu bisa membuatku tertawa. 

"Masih kurang panjang, daftar nama-nama mantanmu? Rio, Dave, Rizal, Kosasih, dan kau ingin ada namaku, begitu?" 

"Demi Tuhan, Kosasih bukan mantanku!" 

Bantahan keras Riani memecah kesunyian. Barista menahan tawa di balik meja. Di luar sana, deru hujan berganti bunyi klakson bersahutan. Jakarta tetaplah Jakarta. 

Aku tahu arah pembicaraan ini. Riani tak pernah berhenti bertanya, apakah aku mau menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih dengannya. 

Kuterka perasaan itu hanya penasaran yang mengakar. Dan akan tercerabut, setelah semua diwujudkan. Basi.

"Riani, bisakah kau berhenti terobsesi denganku?" Kupincingkan mata, agar terkesan serius. 

"Oh ya, bisakah kau berhenti terobsesi dengan Dyah?" Membolak-balik pertanyaan memang keahlian Riani sejak lama. Dan kali ini, ia berhasil membuatku terdiam. 

"Dengarkan Hans, sejak kita putus sewaktu SMP dahulu..." 

"Riani, itu cinta monyet!" 

"Bukan! Aku yakin bukan, Hans. Dengarkan dulu, jangan memotong!" Paras wajahnya semakin serius. 

Kata-kata yang terucap dari bibir Riani seperti berdengung. Tak ada sesuatu yang baru. Irisan nostalgia dibongkar pasang. Di masa lalu, kami menyebutnya friendzone. Dan kami telah sepakat untuk membuang perasaan aneh itu jauh-jauh. 

Deretan nama dan peristiwa kembali diulang. Menyentuh hasrat dan menggelitik penyesalan. Hingga kembali terdengar nama Dyah. Dan kupikir semuanya harus diakhiri. Riani semakin lepas kendali. 

"Cukup! Riani, lihatlah cincin kawin di jari manismu. Kautahu, aku mengenal dan menghormati suamimu. Pulanglah, urusan bisnis kita sudah selesai." 

Riani menitikkan air mata. Menggigit bibir, seakan menyesali perkataannya. Namun ia masih sempat-sempatnya protes, dengan berkata, "Lantas, apa bedanya aku dengan Dyah? Dia justru meninggalkanmu, untuk hidup bersama orang lain!" 

Kuputuskan melangkah pergi, dan tak menjawab apapun. Meninggalkan Riani dengan sebuah senyuman. Memacunya berpikir ulang, tentang obsesi cinta yang tak kunjung surut. Dan tentu saja, membiarkannya membayar tagihan cafe.

Namun harus kuakui, ada hikmah yang dapat diambil dari obrolan pelik hari ini. Ternyata Riani dan Dyah tak jauh berbeda. Dan berhubung waktu tak dapat berputar ke belakang, maka hatiku pun sepertinya harus segera di set ulang. 

Terkadang saat kita dimabuk cinta, hasrat dapat membenamkan kesadaran. Namun bukankah kita dapat memilih; terus tenggelam, atau mulai berenang ke tepian.

**

Cerita ini hanya fiktif belaka, kesamaan nama, tokoh dan tempat hanyalah kebetulan semata.

Indra Rahadian

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun