"Bukan! Aku yakin bukan, Hans. Dengarkan dulu, jangan memotong!" Paras wajahnya semakin serius.Â
Kata-kata yang terucap dari bibir Riani seperti berdengung. Tak ada sesuatu yang baru. Irisan nostalgia dibongkar pasang. Di masa lalu, kami menyebutnya friendzone. Dan kami telah sepakat untuk membuang perasaan aneh itu jauh-jauh.Â
Deretan nama dan peristiwa kembali diulang. Menyentuh hasrat dan menggelitik penyesalan. Hingga kembali terdengar nama Dyah. Dan kupikir semuanya harus diakhiri. Riani semakin lepas kendali.Â
"Cukup! Riani, lihatlah cincin kawin di jari manismu. Kautahu, aku mengenal dan menghormati suamimu. Pulanglah, urusan bisnis kita sudah selesai."Â
Riani menitikkan air mata. Menggigit bibir, seakan menyesali perkataannya. Namun ia masih sempat-sempatnya protes, dengan berkata, "Lantas, apa bedanya aku dengan Dyah? Dia justru meninggalkanmu, untuk hidup bersama orang lain!"Â
Kuputuskan melangkah pergi, dan tak menjawab apapun. Meninggalkan Riani dengan sebuah senyuman. Memacunya berpikir ulang, tentang obsesi cinta yang tak kunjung surut. Dan tentu saja, membiarkannya membayar tagihan cafe.
Namun harus kuakui, ada hikmah yang dapat diambil dari obrolan pelik hari ini. Ternyata Riani dan Dyah tak jauh berbeda. Dan berhubung waktu tak dapat berputar ke belakang, maka hatiku pun sepertinya harus segera di set ulang.Â
Terkadang saat kita dimabuk cinta, hasrat dapat membenamkan kesadaran. Namun bukankah kita dapat memilih; terus tenggelam, atau mulai berenang ke tepian.
**
Cerita ini hanya fiktif belaka, kesamaan nama, tokoh dan tempat hanyalah kebetulan semata.
Indra Rahadian
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H