"Tak apa-apa."Â
Riani datang dan meletakkan setumpuk dokumen di atas meja. Mendorong dua lembar surat perjanjian kerjasama ke arahku.Â
Kubaca sekilas, dan mencantumkan tanda tangan di kolom tersedia. Tuntas. Dan aku dapat segera beranjak. "Ok, Terima kasih, Riani."Â
"Latte macchiato!"Â
Riani memesan minuman, mengangkat dua jari untuk menahanku pergi. Entah, apalagi yang diinginkan. "Oh, dan dua tuna sandwich," tambahnya.Â
Dua cabang distro, telah kupasrahkan untuk memasarkan brand modiste miliknya. Sejak tahun lalu ia merengek ingin dibantu. Mulai dari memilih lokasi usaha, nama brand dan urusan sepele lainnya.Â
Dan tepat minggu lalu, bila aku tak salah ingat. ia mengakui, semua itu dilakukan semata-mata karena ingin lebih dekat denganku. Konyol. Kurang dekat apalagi. Kami sudah berteman sejak taman kanak-kanak.Â
"Kau punya waktu untuk membicarakan hal pribadi, Hans?" tanya Riani
"Nggak!"Â
Dan kami membisu. Di sudut cafe yang beku. Barista memutar lagu Dandelions milik Ruth B. Mengiring gemericik hujan di luar sana. Langit Jakarta memang digulung mendung sedari pagi.Â
Hingga pesanan selesai disajikan di atas meja. Riani tersenyum, menarik nafas panjang dan berkata, "Tak inginkah kau mengakhiri kesendirian, Hans?"Â