Hari ini aku ditugaskan pak lurah, untuk menyiapkan pemakaman seorang tokoh bernama Kakek Ruslan. Berbeda dengan penggali kubur lain, aku selalu penasaran dengan riwayat orang-orang yang akan dimakamkan.Â
Di perjalanan ke komplek pemakaman desa, kusempatkan mampir di warung nasi milik Mbak Yuni. Ramai warga menghabiskan waktu di sana. Meski sekadar mengobrol dan minum kopi.Â
"Mbak, kenal tokoh desa yang namanya Kakek Ruslan?" sembari meneguk kopi hitam, kubertanya pada Mbak Yuni.Â
Mbak Yuni hanya menggeleng. Mungkin dipikirnya aku berbasa-basi atau modus. Memang sudah tiga pekan aku lupa mencoret kasbon. Mungkin itu sebabnya ia bersikap dingin. Dan gelagatnya persis seperti istriku, bila telat kuberi setoran.Â
"Kakek Ruslan itu sesepuh di desa ini, tetapi jarang bergaul." Tiba-tiba seorang warga menanggapi pertanyaanku.Â
Kisah demi kisah mengalir. Banyak warga yang mengenalnya sepintas. Dari cerita mereka, kuterka memang benar, mendiang jarang bergaul. Mungkin karena usianya yang sudah sepuh.Â
Dua hal yang diingat warga desa tentang Kakek Ruslan. Pertama, saat beliau mencegah pemasangan papan nama jalan di gerbang desa. Desas-desus berhembus, lurah yang menjabat kala itu hampir kena gampar, dan urung memasang papan nama jalan. Â
Dan yang kedua, tentang sifat kikir beliau terhadap anak-anaknya. Hingga tak ada satupun anak yang tinggal bersamanya, karena tak pernah diberikan fasilitas apa-apa. Â
Meski begitu, beliau dikenal sebagai tokoh masyarakat yang disegani. Terkenal memiliki relasi dengan pejabat-pejabat di kota. Bahkan kepala desa yang akan diangkat, mesti berkunjung ke rumah beliau.Â
Dan dalam kegiatan tahunan, semisal peringatan Kemerdekaan RI, Hari Pahlawan, dan Maulid Nabi. Beliau selalu mendapat tempat duduk di deretan paling depan.Â
Padahal Kakek Ruslan bukanlah seorang purnawirawan. Namun kata orang, beliau pernah ikut berjuang. Mungkin berjuang di dunia pendidikan. Kata pak lurah, beliau adalah mantan kepala sekolah. Dan guru di desa sebelah.Â
"Paijo! keburu sore. Lekas kerja!" seru Muklis, partner gali kubur. Ia berteriak sembari melintas dengan sepeda motornya.
Kami berdua, sudah selesai menggali hampir dua meter dalamnya. Dengan cangkul dan sekop aku merapihkan setiap sudut. Muklis malah asyik membuat bola-bola tanah. Menyadari aku tengah melihat ke arahnya, ia berkata, "Seduh kopi dulu sana, Paijo!"Â
Komplek pemakaman sudah dihadiri banyak orang. Dari tampilan mereka terlihat yang hadir bukan orang sembarangan. Deretan mobil mewah adalah pemandangan istimewa. Karena biasanya hanya terparkir ambulan desa dan mobil keluarga.Â
Rasa penasaranku pada sosok mendiang semakin menjadi. Berdiri di tepi liang lahat, mantan kepala desa kami yang terkenal dermawan. Beliau menangis tersedu-sedu. Kuletakkan cangkul dan mulai membuka obrolan.Â
"Pak, siapa sih almarhum? Kok pelayatnya orang-orang penting?" tanyaku.Â
Mantan kepala desa menghapus air matanya dan berkata, "Mereka adalah kerabat dan murid-murid mendiang, Mas."Â
Ia mulai bercerita. Bahwa Kakek Ruslan adalah mantan pejuang kemerdekaan. Di mana setelah Indonesia merdeka, beliau menolak bergabung dengan tentara. Dan memilih menjadi guru bahasa dan pensiun sebagai kepala sekolah.Â
Padahal di masa lalu, beliau pernah mengangkat senjata melawan tentara Belanda. Dan melindungi desa kami dari serbuan penjajah. Meski begitu, beliau menolak diberi piagam dan tanda jasa.Â
Mendiang menolak dimakamkan di taman makam pahlawan. Bahkan, batu nisannya tak boleh diberi embel-embel gelar ningrat yang sudah dilepaskan sejak lama.
Katanya, Semua orang harus punya kesempatan yang sama dalam hidup. Dan nasib baik, tidak boleh ditentukan berdasarkan garis keturunan.
Bahkan anak-anaknya terbiasa dengan didikan keras. Menjadi mandiri dan meraih kesuksesan tanpa mengandalkan nama besarnya. Karena baginya, warisan paling berharga adalah pendidikan. Dan harta berupa lahan, sudah diwakafkan untuk pembangunan sekolah di desa ini.Â
"Namun ada satu hal yang saya sesalkan, Mas."Â
"Apa itu, Pak?" tanyaku penasaran.Â
"Dahulu, saya harusnya menerima tamparan. Dan tetap memasang papan nama jalan, bertuliskan nama beliau."Â
Kisah Kakek Ruslan menyadarkanku, bahwa pahlawan benar-benar ada. Orang-orang yang menjaga segala perbuatan baik tanpa terjamah puja-puji.Â
Mereka yang memberi dengan tangan kanan dan tangan kirinya tak perlu tahu. Meninggalkan manfaat pada sesama, tanpa terjerat pamrih berupa pangkat, tanda jasa, dan prasasti.Â
Dan seketika aku pun menyadari, selama ini aku dikelilingi pahlawan-pahlawan dalam hidupku. Tak hanya foto-foto pahlawan di dalam lembaran uang dan buku pelajaran. Itu sudah kewajiban kita mengenang jasa pahlawan bangsa yang sudah berpulang.
Namun orang-orang terdekat kita ternyata sama bernilai. Istriku pahlawan rumah tangga, Mbak Yuni pahlawan pemadam kelaparan, Muklis meski kadang bikin keki, adalah pahlawan ekonomi. Dialah orang yang memberiku pekerjaan.Â
Dan Ibu dengan kasih sayang tulusnya. Serta Bapak yang selalu mengajarkan kerja keras dan pantang meminta-minta, dengan segala keterbatasannya, adalah pahlawan kehidupan.Â
**
Cerita ini hanya fiktif belaka, kesamaan nama, tokoh dan tempat hanyalah kebetulan semata.
Indra Rahadian
Karya ini diikutsertakan dalam rangka mengikuti Event Rumah Pena Inspirasi Sahabat untuk memperingati Hari Pahlawan tahun 2021.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H