Mohon tunggu...
Indra Rahadian
Indra Rahadian Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Swasta

Best In Fiction Kompasiana Award 2021/Penikmat sastra dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[RTC] Cerpen: Hikayat Kakek Ruslan

7 November 2021   12:24 Diperbarui: 7 November 2021   12:26 869
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seorang kakek berdiri di bawah senja. (Foto: Pixel2013 Via Pixabay)

Padahal Kakek Ruslan bukanlah seorang purnawirawan. Namun kata orang, beliau pernah ikut berjuang. Mungkin berjuang di dunia pendidikan. Kata pak lurah, beliau adalah mantan kepala sekolah. Dan guru di desa sebelah. 

"Paijo! keburu sore. Lekas kerja!" seru Muklis, partner gali kubur. Ia berteriak sembari melintas dengan sepeda motornya.

Kami berdua, sudah selesai menggali hampir dua meter dalamnya. Dengan cangkul dan sekop aku merapihkan setiap sudut. Muklis malah asyik membuat bola-bola tanah. Menyadari aku tengah melihat ke arahnya, ia berkata, "Seduh kopi dulu sana, Paijo!" 

Komplek pemakaman sudah dihadiri banyak orang. Dari tampilan mereka terlihat yang hadir bukan orang sembarangan. Deretan mobil mewah adalah pemandangan istimewa. Karena biasanya hanya terparkir ambulan desa dan mobil keluarga. 

Rasa penasaranku pada sosok mendiang semakin menjadi. Berdiri di tepi liang lahat, mantan kepala desa kami yang terkenal dermawan. Beliau menangis tersedu-sedu. Kuletakkan cangkul dan mulai membuka obrolan. 

"Pak, siapa sih almarhum? Kok pelayatnya orang-orang penting?" tanyaku. 

Mantan kepala desa menghapus air matanya dan berkata, "Mereka adalah kerabat dan murid-murid mendiang, Mas." 

Ia mulai bercerita. Bahwa Kakek Ruslan adalah mantan pejuang kemerdekaan. Di mana setelah Indonesia merdeka, beliau menolak bergabung dengan tentara. Dan memilih menjadi guru bahasa dan pensiun sebagai kepala sekolah. 

Padahal di masa lalu, beliau pernah mengangkat senjata melawan tentara Belanda. Dan melindungi desa kami dari serbuan penjajah. Meski begitu, beliau menolak diberi piagam dan tanda jasa. 

Mendiang menolak dimakamkan di taman makam pahlawan. Bahkan, batu nisannya tak boleh diberi embel-embel gelar ningrat yang sudah dilepaskan sejak lama.

Katanya, Semua orang harus punya kesempatan yang sama dalam hidup. Dan nasib baik, tidak boleh ditentukan berdasarkan garis keturunan.

Bahkan anak-anaknya terbiasa dengan didikan keras. Menjadi mandiri dan meraih kesuksesan tanpa mengandalkan nama besarnya. Karena baginya, warisan paling berharga adalah pendidikan. Dan harta berupa lahan, sudah diwakafkan untuk pembangunan sekolah di desa ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun