Waktu menjauhkan yang dekat, dan mendekatkan hati pada kenangan. Kesenangan, kesedihan, keluarga, sahabat, dan orang-orang tercinta, berganti dan terlupakan. Bergulir ke depan, meninggalkan rangkaian cerita di belakang.Â
Kututup album foto-foto lawas, setelah memotretnya dengan kamera handphone. Kenangan tak dapat diulang. Banyak hal yang hanya terjadi satu kali seumur hidup.Â
Besok lusa aku harus bekerja, dan kunjungan ke rumah orangtua di akhir pekan harus terjeda. Melepas kerinduan pada ibu dan bapak begitu berharga. Berbagi cerita dan tertawa bersama, lebih berkesan dari sekadar mengenang masa silam.Â
"Kamu baik-baik saja kan, Le?"
Naluri seorang ibu tak pernah salah. Beliau mampu menembus tabir yang tersembunyi di balik tembok beton sekalipun. Keresahan yang kusembunyikan, dapat terbaca dengan jelas.
Ibu tak pernah tahu, aku sudah bekerja di tempat baru. Dua tahun berkirim kabar tentang kebahagiaan dan prestasi. Namun kenyataannya, aku berulang kali kehilangan pekerjaan dan patah hati.Â
"Tak perlu khawatir, Bu. Bapak sudah memberiku wejangan dan tuntunan."Â
Sebelum pamit pulang besok pagi, malam ini aku ingin meluangkan waktu untuk berkunjung ke kampung sebelah. Nostalgia bersama teman-teman lama. Berbagi cerita dan mengenang kenakalan di masa remaja.Â
Biasanya kami menghabiskan malam di warung kopi milik Mak Ijah. Kadang pulang pagi. Bukan karena terlalu larut dalam obrolan.Â
Namun cerita-cerita arwah gentayangan, babi ngepet, kuntilanak dan kunyang, dari seorang kawan bernama Tono, sungguh membuat merinding.Â
Meski nyali kami ciut dan terpaksa begadang. Namun anehnya, kami selalu ketagihan mendengarkan cerita Tono. Â
Belakangan kutahu ia adalah anak sulung Mak Ijah. Karena sejak ronda malam jarang dilakukan, warung semakin sepi. Dan cerita Tono menahan kami pulang, sekedar untuk memastikan beberapa gelas kopi dan kacang laris dibeli.Â
Bila mengingat hal itu, kadang membuatku senyum-senyum sendiri. Kupacu sepeda motorku dan meluncur ke ujung kampung. Tak lupa sebungkus oleh-oleh kota kubawa untuk mereka.
Hembusan angin terasa lebih dingin. Musim paceklik akan berganti musim hujan. Laron beterbangan, berjatuhan dari lampu-lampu jalan yang belum lama dipasang.Â
"Tono?" Di batas kampung, samar-samar kulihat Tono duduk di balai bambu di depan gardu hansip. Dia melambaikan tangan dan menatap tajam.Â
Kuputar balik sepeda motorku, dan berhenti tepat di depannya. Dia masih sama seperti dahulu. Bertahun-tahun tak bertemu, ia terlihat semakin kurus dan sayu.Â
"Kamu mau ke mana?" Setelah kumatikan mesin motor, Tono bertanya padaku dengan nada datar. Dari gelagatnya, ia tidak mengenaliku. Payah betul ingatan kawan satu ini, pikirku.Â
"Tono! Ini aku Usman!"Â
Tono hanya tersenyum. Ia menggeser posisi duduknya, seakan memintaku duduk di sampingnya. Aku menjabat tangannya. Dan terasa dingin. Wajar saja, di malam buta, ia bertelanjang dada dan hanya memakai sarung.Â
"Kamu lagi ronda? Ayo pindah ke warung ibumu!" Kutebak ia tengah jaga malam.Â
"Warung sudah lama tutup," jawabnya.Â
Kami begitu kaku memulai obrolan. Dan butuh waktu lama mengakrabkan diri. Tono seperti tengah linglung. Ia berkali-kali bicara tak nyambung. Dan tak terasa sudah hampir tengah malam.Â
"Dari tadi kita cuma ngobrol berdua. Ke mana yang lain?"Â
"Orang-orang takut ke sini, sejak ada yang mati di dalam gardu itu," ucap Tono, seraya mengarahkan telunjuk ke gardu hansip.Â
"Nah ini yang kutunggu!" Dan sungguh aku antusias, mendengar ia mulai membuka cerita seram. Pekik burung kedasih, dan desir lirih angin di sela pohon-pohon bambu, memacu adrenalin.Â
Kejadian itu sudah lewat sebulan lalu. Dan gardu hansip ini baru selesai di bangun. Tak ada yang mau menjadi hansip di kampung ini. Hansip tua sudah tak kuat jaga malam. Namun aksi maling dan begal kian meresahkan. Terpaksa beberapa warga menjadi sukarelawan. Ronda malam di akhir pekan.Â
Malam itu, udara terasa panas. Memang sepertinya akan ada kejadian nahas. Salah seorang warga berjaga sendiri. Karena warga lainnya pergi bekerja di kota. Meninggalkan sawah dan ladang. Paceklik. Orang-orang harus tetap memenuhi kebutuhan.Â
Dini hari saat semua orang tertidur. Dua buah sepeda motor berhenti di tepi jalan. Lelaki yang berjaga, keluar dari gardu dan menghampiri mereka. Entah apa sebabnya, salah seorang pengendara memukul dari belakang. Disusul hujaman parang bertubi-tubi. Lelaki itu tumbang, dan para pengendara melanjutkan perjalanan.Â
Tak berselang lama, rombongan warga melintas dan berteriak-teriak, "Maling!" Lelaki yang terluka, segera di bawa masuk ke dalam gardu. Namun nahas, nyawanya sudah tak tertolong. Dan sejak saat itu, gardu hansip ini kosong.Â
"Siapa lelaki itu?" Tanyaku penasaran.Â
"Dia komplotan maling yang sengaja berjaga sendiri. Memastikan tak ada halangan, saat maling-maling menggasak seisi kampung."
"Siapa sih, Tono. Apa aku mengenalnya?" Tanyaku semakin penasaran.
"Lelaki itu baru dua bulan kembali ke kampung. Ia berniat menemui temannya untuk mendapat kerja di kota. Namun sayangnya, teman yang dituju sudah tak bekerja di sana. Lelaki itu, mencari jalan pintas."
"Man, selagi masih hidup. Kamu mesti ingat orangtua. Harta bisa dicari, tapi waktu tak bisa kembali."Â
Berbatang-batang rokok, tanpa kopi seperti laju kereta api di padang pasir. Dan saat cerita terhenti pada sebuah kata-kata bijak, kuputuskan beranjak membeli minum. Pasti Tono butuh tenaga untuk melanjutkan cerita.Â
"Ayo ikut," kutepuk jok motor, dan mengajaknya.
Tono malah menggeleng kepala. "Yo wis, tunggu," pintaku.Â
Dengan sepeda motor kuberkeliling ke kampung sebelah. Tepat jam 11 malam, suasana sudah sepi. Benar kata Tono, warung ibunya sudah tutup. Dari ujung ke ujung, tak ada satupun warung yang buka. Dan akupun terpaksa kembali dengan tangan kosong.Â
Tono sudah tak ada di tempatnya setelah aku kembali. Gardu hansip ini terlihat baru. Meski cahaya lampu sudah redup, tetapi kondisi bangunan masih terawat. "Ke mana anak itu? Masa iya sudah pulang?"Â
Mungkinkah ia ke belakang bangunan, buang hajat atau tidur pulas di dalam. Tadinya akan kutinggalkan oleh-oleh ke dalam gardu. Namun tiba-tiba bulu kudukku berdiri dan suasana terasa mencekam.Â
Teringat cerita Tono tentang pembunuhan sadis di gardu ini, kuputuskan tak beranjak dari motor. Tanpa pikir panjang, kutarik gas dan bergegas pulang.Â
"Tono, kebangetan kamu!" Dia masih saja bisa menakutiku, dengan cerita horor dan gelagatnya. Kupikir, besok saja sekalian berangkat, aku mampir ke rumahnya.Â
Setelah ayam jantan berkokok di atas pagar, kupanaskan mesin motor. Di teras rumah, ibu sudah menyajikan secangkir kopi untukku dan bapak.Â
Tas ransel sudah penuh kue buatan ibu. Dua kardus berisi makanan kampung dan beras, telah disiapkan di samping pintu. Satu rol tali rafia untuk mengikatnya di motorku juga telah tersedia.
Ibu lalu mengambil sapu ijuk ke samping rumah, dan hendak membersihkan pekarangan. Tak lama, beliau kembali ke teras. Dan berkata, "Le, semalam ibu lupa kasih tahu. Malam ini kamu diundang Mak Ijah di kampung sebelah, ada tahlilan 40 hari Sartono anaknya."Â
"Tono?" Hampir kutersedak ampas kopi. Lututku lemas. Di pagi sedingin ini, keringat tiba-tiba mengucur deras. Benarkah apa yang ibu katakan. Lantas siapa orang yang kutemui tadi malam?Â
***
Cerita ini terinspirasi dari kisah nyata, didramatisir, serta disamarkan nama, tokoh dan tempat. Bila ada persamaan dengan pengalaman pembaca, itu hanyalah kebetulan semata.
Indra Rahadian
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H