Mohon tunggu...
Indra Rahadian
Indra Rahadian Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Swasta

Best In Fiction Kompasiana Award 2021/Penikmat sastra dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Marie Anne

6 Agustus 2021   10:48 Diperbarui: 6 Agustus 2021   22:30 878
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sungai Seine, Paris. Konon abu jenazah Joan of Arc yang termasyhur, dilarung di sungai ini. Meliuk di samping menara Eiffel yang menjulang. Tak ada hal yang romantis dari kisah orang suci dan menara besi itu. Namun Paris terkenal romantis dikata orang. 

Hari itu aku melintasi Pont d'Iéna, setelah menggantungkan segala kisah patah hati di puncak menara. Menyisipkan bait-bait kasih tak sampai di sela-sela tembok Notre-Dame.

Mengakhiri kisah cinta segitiga tiga, antara aku, dia dan Tuhannya. 

Gadis itu tak pernah menentukan pilihan dan kami tak saling memiliki secara utuh. Meski perbedaan keyakinan dan budaya, terlalu klise untuk dibuat alasan. 

Namun kehidupan nyata, tak kalah konyol dari drama sabun dengan episode panjang. Terkadang dada ini sesak, untuk urusan sepele yang menyangkut perasaan. 

"Putra, aku mau ke Paris minggu depan. Sampai jumpa di sana." 

Pesan singkat dari Ratih baru terbaca, sesaat setelah aku duduk di atas kereta menuju Reims. "Ah, malas," dalam hatiku berkata. 

Ratih Salsabila, gadis yang merasa memiliki diriku hanya karena orangtuanya dekat dengan orangtuaku. Hubungan kami berdua, dipaksakan oleh sebuah transaksi bisnis keluarga. 

Ayahku bilang, perjodohan ini adalah fasilitas yang harus kuambil. Sekedar menghargai usahanya yang berdarah-darah untuk berada di puncak karir. 

Dalam beberapa kesempatan, Ratih selalu mengeluhkan tentang hubungan ini. Namun akhir-akhir ini, komunikasi kami kian sering. 

Meski, obrolan kami layaknya kanebo kering. Karena memang, kami tak pernah saling membuka diri. 

Ratih bahkan bukan penyebab hubunganku dan Marie Anne terputus. Layaknya film tentang drama perjodohan yang berakhir tragis. Ia sama sekali tak pernah mengambil peran antagonis. 

"Temui aku di Reims saja nanti, sampai akhir bulan aku tidak berada di Paris." 

"Tentu, aku tak berharap punya kenangan bersamamu di Eiffel," jawabnya. 

Respon Ratih cukup membuatku terhibur. Tak boleh ada kisah lain yang akan mengganggu studi berhargaku di negeri orang. Tujuanku ke sini adalah belajar.

Namun darah muda selalu mencari celah untuk sebuah petualangan. Pertemuan tak sengaja dengan perempuan yang menarik, ternyata meninggalkan bekas mendalam. 

Kereta melaju cepat, pandanganku masih sempat menikmati suasana luar kota Paris yang tak terlalu padat. Hingga melintasi sungai Marne, anganku melayang pada suasana musim semi di tahun lalu. 

Puluhan demonstran terlihat membawa pamplet dan spanduk di pelataran Place de la République. Mereka mengangkat isu tentang perubahan iklim. Kerumunan itu membuatku penasaran.

Seperti kebanyakan mahasiswa asing di negeri orang, aku tidak pernah mau ikut dalam aktivitas protes, terlebih soal politik. Namun lain soal, bila itu terkait perubahan iklim. Paling tidak, sekedar menunjukkan dukungan. 

Marie Anne, demonstran perempuan yang berdiri di barisan depan. Ia menarik perhatianku. Membuatku mengabaikan beberapa sosok perempuan bertelanjang dada di sebelahnya. 

Dan hari itu aku terpesona pada sorot matanya yang berwarna biru. Paras cantiknya terlihat serius. Meski kutahu ia acap kali mengumpat di depan petugas keamanan. Namun di mataku, ia begitu anggun dan berkarakter. 

Hingga keadaan bertambah kacau, seseorang membakar sesuatu dan melemparkannya ke arah petugas. 

Demonstrasi itu dibubarkan paksa. Marie Anne tidak terima dan melakukan perlawanan. Merobek kaus putih yang dipakainya dan berusaha memukul petugas. 

Sontak aku bertindak sok pahlawan, dengan menariknya keluar kerumunan. Di saat ayunan pentungan petugas, nyaris mengenai kepalanya. Kubungkus tubuhnya dengan spanduk berwarna hitam. Ia kubawa berlari. 

Aku tak berharap ia berterima kasih. Paling tidak, kami dapat sekedar berkenalan. Tetapi Ia malah menampar pipiku, sembari berseru, "suce!" 

Namun hal itu cukup berkesan. Aku melihat bagaimana kesalnya Marie Anne. Ia tak henti mengoceh tentang tindakan represif petugas. Tentang dunia yang tak adil. Dan tentang manusia yang merusak lingkungan hidupnya sendiri. 

Kukira sejak hari itu aku takkan bertemu dengannya lagi. Ternyata, alur waktu membawa pada perjumpaan selanjutnya. Aku duduk bersila di taman Trocadéro, membaca jurnal dalam bahasa Perancis, yang membuatku merasa miskin kosakata. 

Ia mengambil duduk tepat disebelahku, tersenyum dan menyapa seakan tanpa dosa. Kami akhirnya berkenalan. Dan layar drama percintaan baru saja dibentangkan. 

Sebelum kami semakin dekat, ia mengira aku mahasiswa yang berasal dari India. Setiap bertemu, ia selalu merekat kedua tangan dan memberikan salam. Aku hanya tertawa. 

Kami menghabiskan waktu bersama. Berjalan berduaan di setiap sudut kota. Berbicara persoalan receh. Tentang cafe yang nyaman di sekitar Saint-Germain des Prés.  Hingga rencana dan kegiatannya sebagai aktivis lingkungan hidup. 

Suatu ketika aku bertanya, kenapa dia mau menjalin hubungan dengan orang asing sepertiku. Padahal pria lokal di negara ini terkenal romantis.

Ia hanya berkata, "je te désire."

Dan malam itu, kami mencurahkan hasrat sebagai sepasang kekasih. Di remang cahaya lampu jalanan kota berwarna kuning keemasan. Menikmati detak jantung kota Paris dari sisi yang berbeda. 

Waktu bergulir dan aku semakin sibuk dengan aktivitas akademik. Hingga kami merasa kehilangan satu sama lain, dan akhirnya hal itu benar-benar terjadi.

Marie Anne tak pernah menemuiku lagi. Tanpa pesan ia menghilang. Sampai tiba kabar, dari seorang teman aktivis yang mengenalnya hinggap di telingaku. 

Marie Anne memutuskan, mengabdikan dirinya secara utuh di Notre-Dame. Dan keyakinan yang dianutnya memisahkan kami.

Kereta berhenti di stasiun Reims. Pesan singkat dari Ratih kembali masuk di layar sentuh. Aku bergegas keluar dan belum sempat membacanya. 

Hingga aku melangkah di lorong stasiun dan kubaca pesan itu. Ia berkata, "Ayah sudah setuju, aku memilih jodohku sendiri. Namun aku akan tetap berangkat ke Paris, dengan atau tanpa kau temani." 

Dadaku terjerat diantara perasaan gembira dan penasaran. Bertanya-tanya, apa yang dimaksud Ratih dengan memilih jodohnya sendiri. Benar-benar membuat penasaran. 

Naluri lelaki, menyeretku pada sebuah tantangan baru. Aku menarik nafas dan berkata dalam hati, "Baiklah, Ratih. Kamu akan mendapatkan pelayanan tour guide yang manis dan menyenangkan!" 

Kadang sesuatu yang menyenangkan dapat dinikmati dengan serius. Begitupun sesuatu yang serius, dapat dinikmati dengan menyenangkan, bukan?

**

Cerita ini hanya fiktif belaka, kesamaan nama, tokoh dan tempat hanyalah kebetulan semata.

Indra Rahadian

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun