Dan malam itu, kami mencurahkan hasrat sebagai sepasang kekasih. Di remang cahaya lampu jalanan kota berwarna kuning keemasan. Menikmati detak jantung kota Paris dari sisi yang berbeda.Â
Waktu bergulir dan aku semakin sibuk dengan aktivitas akademik. Hingga kami merasa kehilangan satu sama lain, dan akhirnya hal itu benar-benar terjadi.
Marie Anne tak pernah menemuiku lagi. Tanpa pesan ia menghilang. Sampai tiba kabar, dari seorang teman aktivis yang mengenalnya hinggap di telingaku.Â
Marie Anne memutuskan, mengabdikan dirinya secara utuh di Notre-Dame. Dan keyakinan yang dianutnya memisahkan kami.
Kereta berhenti di stasiun Reims. Pesan singkat dari Ratih kembali masuk di layar sentuh. Aku bergegas keluar dan belum sempat membacanya.Â
Hingga aku melangkah di lorong stasiun dan kubaca pesan itu. Ia berkata, "Ayah sudah setuju, aku memilih jodohku sendiri. Namun aku akan tetap berangkat ke Paris, dengan atau tanpa kau temani."Â
Dadaku terjerat diantara perasaan gembira dan penasaran. Bertanya-tanya, apa yang dimaksud Ratih dengan memilih jodohnya sendiri. Benar-benar membuat penasaran.Â
Naluri lelaki, menyeretku pada sebuah tantangan baru. Aku menarik nafas dan berkata dalam hati, "Baiklah, Ratih. Kamu akan mendapatkan pelayanan tour guide yang manis dan menyenangkan!"Â
Kadang sesuatu yang menyenangkan dapat dinikmati dengan serius. Begitupun sesuatu yang serius, dapat dinikmati dengan menyenangkan, bukan?
**
Cerita ini hanya fiktif belaka, kesamaan nama, tokoh dan tempat hanyalah kebetulan semata.
Indra Rahadian