Hingga keadaan bertambah kacau, seseorang membakar sesuatu dan melemparkannya ke arah petugas.Â
Demonstrasi itu dibubarkan paksa. Marie Anne tidak terima dan melakukan perlawanan. Merobek kaus putih yang dipakainya dan berusaha memukul petugas.Â
Sontak aku bertindak sok pahlawan, dengan menariknya keluar kerumunan. Di saat ayunan pentungan petugas, nyaris mengenai kepalanya. Kubungkus tubuhnya dengan spanduk berwarna hitam. Ia kubawa berlari.Â
Aku tak berharap ia berterima kasih. Paling tidak, kami dapat sekedar berkenalan. Tetapi Ia malah menampar pipiku, sembari berseru, "suce!"Â
Namun hal itu cukup berkesan. Aku melihat bagaimana kesalnya Marie Anne. Ia tak henti mengoceh tentang tindakan represif petugas. Tentang dunia yang tak adil. Dan tentang manusia yang merusak lingkungan hidupnya sendiri.Â
Kukira sejak hari itu aku takkan bertemu dengannya lagi. Ternyata, alur waktu membawa pada perjumpaan selanjutnya. Aku duduk bersila di taman Trocadéro, membaca jurnal dalam bahasa Perancis, yang membuatku merasa miskin kosakata.Â
Ia mengambil duduk tepat disebelahku, tersenyum dan menyapa seakan tanpa dosa. Kami akhirnya berkenalan. Dan layar drama percintaan baru saja dibentangkan.Â
Sebelum kami semakin dekat, ia mengira aku mahasiswa yang berasal dari India. Setiap bertemu, ia selalu merekat kedua tangan dan memberikan salam. Aku hanya tertawa.Â
Kami menghabiskan waktu bersama. Berjalan berduaan di setiap sudut kota. Berbicara persoalan receh. Tentang cafe yang nyaman di sekitar Saint-Germain des Prés. Hingga rencana dan kegiatannya sebagai aktivis lingkungan hidup.Â
Suatu ketika aku bertanya, kenapa dia mau menjalin hubungan dengan orang asing sepertiku. Padahal pria lokal di negara ini terkenal romantis.
Ia hanya berkata, "je te désire."