"Ayah hanya ingin yang terbaik untukmu! Rudy adalah jodoh terbaik dan sepadan!" seru Ayahanda di ruang keluarga.
"Aku ingin memilih, Ayah." jawab Ninik.Â
"Tidak! Bila itu si Mono! Sarjana Hukum yang kerjanya cuma jadi tukang fotokopi di kantor advokat!"Â
Pesta mendadak hening. Keceriaan terhenti seketika. Meski Ibunda sudah berusaha mencairkan suasana. Tak ayal ketegangan masih terasa. Terlebih saat sanak saudara, melihat Ninik diam seribu bahasa.Â
Ninik kemudian berpaling. Ia meninggalkan pesta penyambutan dirinya yang belum usai. Melangkah tergesa dan bergegas meluncur keluar. Memacu mobilnya dan meninggalkan rumah. Ia berniat menemui Mono.Â
Chevrolet biru tua terparkir di bawah pohon rambutan. Di depan rumah sederhana di daerah Bintaro. Kala hari merambat senja, Mono menuntun motor ke depan rumahnya. Ia tak salah mengira, Ninik pasti sudah ada di dalam.Â
"Kenapa tak balas pesan, tak angkat telepon! Marah?"Â
Mono mematung di depan pintu. Tatapannya hampa. Tanpa senyuman. Dan kerinduan itu, baginya sudah usai. Paras cantik dan judes itu masih sama. Masih sanggup membuat degup jantung berdebar kencang.Â
"Pulanglah, nanti ayahmu khawatir," ucapnya.Â
Ninik menitikkan air mata. Menyongsong lelaki dihadapannya dengan sebuah pelukan. Menumpahkan kerinduan dan sesak di dada. Ia tak lagi butuh jawaban. Meski kepastian diselimuti kegelisahan.Â
Mono menuntun Ninik duduk di teras rumah. Berkali-kali menarik nafas dan terlihat berat melepaskan kata-kata. Pergulatan sakit hati dan kerinduan. Ia sadar harus menarik sebuah permintaan, yang tertunda tiga tahun berlalu.
Mereka mulai berbicara. Berpandang mata dan tertawa. Obrolan pun mulai cair, sekedar nostalgia dan berbagi cerita. Hingga Mono terpaksa menjawab, tentang perlakuan buruk yang ia terima dari keluarga Ninik.Â