"Bila nanti aku pergi, kamu tak boleh nangis, Ay."
"Tidak, aku mau ikut!"
Di ruang tunggu bandara Heathrow London, detik berdetak pelan mengalun. Ninik tak sabar untuk segera berangkat. Ia menatap jam tangan berkali-kali. Menanti dengan raut wajah gelisah. Tak tenang dan sesekali membetulkan posisi duduknya.Â
Hasrat membawa lamunan menembus ruang dan waktu. Tawa, canda dan pelukan keluarga. Hangat tatapan dan senyum dari orang-orang tercinta, bergelayut di dalam angan. Dan terekam jelas pada foto-foto usang di layar telepon genggam.Â
Hingga panggilan itu tiba. Ninik bergegas melangkah menuju lorong keberangkatan. Melintasi lukisan penobatan ratu Inggris dan mural grup musik favoritnya, Spice Girls. Menyongsong cahaya lampu-lampu yang menuntun ke arah pesawat. Â
"Jakarta, aku datang!"
Mono baru saja keluar dari beranda kantor hukum ternama di Medan. Melangkah pasti dengan kepala tegak, segaris senyum dan raut wajah bahagia. Ia berhasil mendapat posisi penting di kantor hukum bergengsi di Indonesia. Impian lama yang terlaksana.Â
Bertahun-tahun bekerja di luar keahlian. Dan Meski berkali-kali menunjukkan kemampuan pada beberapa kasus yang ditangani firma hukum milik kawan baik. Namun tak kunjung mendapat kesempatan bergabung dengan kantor hukum yang lebih besar.Â
Mono serasa dilahirkan kembali. Dua tahun menanti panggilan, kesempatan itupun akhirnya tiba. Dan hari ini, Ia harus bergegas kembali ke Jakarta. Menjalani masa prajabatan selama tiga bulan, untuk mengisi posisi kepala staf kantor cabang di Bekasi.Â
Tiba di Jakarta, Mono mendapatkan pesan singkat dan beberapa panggilan tak terjawab. Ia tahu pasti, dari siapa panggilan itu berasal. Belahan jiwa yang lama dinanti.Â
Nafasnya mendesah pelan dibalut kecemasan. Dalam benak merangkai cerita, keluh kesah dan ribuan kata-kata tertahan di dada.Â
Kekhawatiran dalam hati kian menjadi. Hal itu, membuat Mono urung membalas pesan. Dan sejenak menyimpan hasratnya ke dalam kantung celana.Â
"Dr. Aini Ni'matullah, anak gadis Bunda."
Di teras balkon sebuah rumah megah. Ninik tak henti-hentinya mendapatkan ciuman dan pelukan dari Ibunda. Seolah mereka belum puas berbagi cerita. Rasa bangga dan rindu berpadu. Malam itu, Ibunda telah afdol menumpahkan kerinduan.Â
Berita kepulangan anak gadis semata wayang, menuntaskan pendidikan S3 di London, telah disebar ke sanak saudara. Masih ada pesta di esok hari. Lusa nanti, Ninik mulai bekerja di salah satu kantor lembaga pemerintah di bidang sains dan teknologi.
"Kamu istirahat saja, capek pasti," ucap Ibunda.Â
Ninik hanya mengangguk. Lalu melangkah lunglai ke arah kamar tidur. Hari ini sangat melelahkan. Perjalanan lima belas jam dan sambutan luar biasa dari keluarga besar. Mungkin, telah habis kerinduan dan cerita semasa menempuh pendidikan.Â
Hanya satu hal yang masih mengganjal. Hubungan asmara dengan Mono. Kenapa rasanya begitu menyesakkan. Tepat dua tahun hilang kontak. Mungkinkah, Mono telah berpaling?
Belum ada pesan yang dibalas, belum ada panggilan yang dijawab. Dalam hati, Ninik semakin gelisah. Kerinduan itu, akankah terbayar manis. Iapun menatap resah pada cincin permata biru di jari manisnya.Â
"Maafkan aku, Mono."
Meski tak menyesali keputusannya untuk menutup komunikasi di tahun kedua. Ia menyayangkan tak sempat memberi pemahaman yang layak kepada Mono.Â
Di tengah kesibukan tugas studi yang kian menjadi. Iapun harus fokus untuk lulus tepat waktu. Tak ada prioritas lain saat itu.
Tubuh berbaring memeluk guling. Namun angannya melayang. Kata-kata mesra dari bibir Mono sayup mengalun dalam khayalan. Iapun memejamkan mata, sekedar berburu mimpi indah dari masa silam.Â
"Ayah hanya ingin yang terbaik untukmu! Rudy adalah jodoh terbaik dan sepadan!" seru Ayahanda di ruang keluarga.
"Aku ingin memilih, Ayah." jawab Ninik.Â
"Tidak! Bila itu si Mono! Sarjana Hukum yang kerjanya cuma jadi tukang fotokopi di kantor advokat!"Â
Pesta mendadak hening. Keceriaan terhenti seketika. Meski Ibunda sudah berusaha mencairkan suasana. Tak ayal ketegangan masih terasa. Terlebih saat sanak saudara, melihat Ninik diam seribu bahasa.Â
Ninik kemudian berpaling. Ia meninggalkan pesta penyambutan dirinya yang belum usai. Melangkah tergesa dan bergegas meluncur keluar. Memacu mobilnya dan meninggalkan rumah. Ia berniat menemui Mono.Â
Chevrolet biru tua terparkir di bawah pohon rambutan. Di depan rumah sederhana di daerah Bintaro. Kala hari merambat senja, Mono menuntun motor ke depan rumahnya. Ia tak salah mengira, Ninik pasti sudah ada di dalam.Â
"Kenapa tak balas pesan, tak angkat telepon! Marah?"Â
Mono mematung di depan pintu. Tatapannya hampa. Tanpa senyuman. Dan kerinduan itu, baginya sudah usai. Paras cantik dan judes itu masih sama. Masih sanggup membuat degup jantung berdebar kencang.Â
"Pulanglah, nanti ayahmu khawatir," ucapnya.Â
Ninik menitikkan air mata. Menyongsong lelaki dihadapannya dengan sebuah pelukan. Menumpahkan kerinduan dan sesak di dada. Ia tak lagi butuh jawaban. Meski kepastian diselimuti kegelisahan.Â
Mono menuntun Ninik duduk di teras rumah. Berkali-kali menarik nafas dan terlihat berat melepaskan kata-kata. Pergulatan sakit hati dan kerinduan. Ia sadar harus menarik sebuah permintaan, yang tertunda tiga tahun berlalu.
Mereka mulai berbicara. Berpandang mata dan tertawa. Obrolan pun mulai cair, sekedar nostalgia dan berbagi cerita. Hingga Mono terpaksa menjawab, tentang perlakuan buruk yang ia terima dari keluarga Ninik.Â
Meskipun, terkesan menutupi kejadian yang sebenarnya lebih sadis. Ia tak ingin Ninik membenci keluarga sendiri. Dan menyesali keputusan untuk meraih cita-cita.Â
"Aku tidak selangkahpun mundur untuk memilikimu, Ay. Namun, aku harus punya keberanian untuk membiarkanmu bahagia."Â
Ninik tertunduk lesu. Dan air mata kembali mengalir. Hatinya hancur. Kata-kata Mono adalah sebuah ungkapan perpisahan. Bukan sambutan yang ia harapkan. Iapun menarik nafas panjang dan berkata, "aku perlu waktu untuk berpikir jernih."
Ninik berlalu pergi. Dan kembali mengikat waktu pada sebuah kisah cinta yang tak pasti. Sementara Mono masih terpaku. Ia hanya dapat menatap tanpa harap. Sembari menampung kesedihan di ujung penantian.Â
"Kak Mono, dimana? Nina kangen!" Tiba-tiba sebuah chat di layar handphone terbuka.Â
"Di hatimu," balasnya, seraya menonaktifkan telepon genggam.Â
Hingga wangi tubuh Ninik tak tercium lagi. Dan malam kian pekat. Mono masih terus mengingat, semua kata-kata dan kenangan bersama berdua.Â
Namun waktu sudah tak lagi tersisa. Ada masa yang harus dijalani. Dan kehidupan yang harus dinikmati.
Ada banyak kebahagiaan yang tidak dapat diulang. Namun setidaknya kita bisa sedikit mengenang. Dan itu lebih dari cukup.
**
Cerita ini hanya fiktif belaka, kesamaan nama, tokoh dan tempat hanyalah kebetulan semata.
Indra Rahadian
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI