Kekhawatiran dalam hati kian menjadi. Hal itu, membuat Mono urung membalas pesan. Dan sejenak menyimpan hasratnya ke dalam kantung celana.Â
"Dr. Aini Ni'matullah, anak gadis Bunda."
Di teras balkon sebuah rumah megah. Ninik tak henti-hentinya mendapatkan ciuman dan pelukan dari Ibunda. Seolah mereka belum puas berbagi cerita. Rasa bangga dan rindu berpadu. Malam itu, Ibunda telah afdol menumpahkan kerinduan.Â
Berita kepulangan anak gadis semata wayang, menuntaskan pendidikan S3 di London, telah disebar ke sanak saudara. Masih ada pesta di esok hari. Lusa nanti, Ninik mulai bekerja di salah satu kantor lembaga pemerintah di bidang sains dan teknologi.
"Kamu istirahat saja, capek pasti," ucap Ibunda.Â
Ninik hanya mengangguk. Lalu melangkah lunglai ke arah kamar tidur. Hari ini sangat melelahkan. Perjalanan lima belas jam dan sambutan luar biasa dari keluarga besar. Mungkin, telah habis kerinduan dan cerita semasa menempuh pendidikan.Â
Hanya satu hal yang masih mengganjal. Hubungan asmara dengan Mono. Kenapa rasanya begitu menyesakkan. Tepat dua tahun hilang kontak. Mungkinkah, Mono telah berpaling?
Belum ada pesan yang dibalas, belum ada panggilan yang dijawab. Dalam hati, Ninik semakin gelisah. Kerinduan itu, akankah terbayar manis. Iapun menatap resah pada cincin permata biru di jari manisnya.Â
"Maafkan aku, Mono."
Meski tak menyesali keputusannya untuk menutup komunikasi di tahun kedua. Ia menyayangkan tak sempat memberi pemahaman yang layak kepada Mono.Â
Di tengah kesibukan tugas studi yang kian menjadi. Iapun harus fokus untuk lulus tepat waktu. Tak ada prioritas lain saat itu.
Tubuh berbaring memeluk guling. Namun angannya melayang. Kata-kata mesra dari bibir Mono sayup mengalun dalam khayalan. Iapun memejamkan mata, sekedar berburu mimpi indah dari masa silam.Â