Mohon tunggu...
Indra Rahadian
Indra Rahadian Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Swasta

Best In Fiction Kompasiana Award 2021/Penikmat sastra dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Menembus Gerimis

4 Juli 2021   11:25 Diperbarui: 4 Juli 2021   11:32 667
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: seseorang yang berjalan di bawah hujan (Foto: Skitterphoto Via Pixabay)

Laju ambulans meluncur mulus, menembus gerimis yang berderai mesra di ujung malam. Memasuki pemukiman padat. Deretan rumah  terlihat sama di kiri-kanan. Bunyi sirine terus meraung-raung memecah keheningan. 

Hilman menatap resah kerlap-kerlip lampu berwarna merah dari kejauhan. Dua jam menanti. Harapan itu tiba. Satu keluarga lagi akan mendapat pertolongan. Namun tugas belumlah usai. 

Lonjakan kasus penderita Covid di wilayah Kecamatan Harapan Indah semakin tinggi. Dalam sehari, tercatat lima puluh orang terpapar dan harus menjalani isolasi mandiri.

"Ini peringatan keras, Pak! Bila ada warga yang terpapar! jangan menutupi informasi!  Covid bukan aib!" 

Hilman tidak dapat menahan luapan emosi. Dua jam memendam amarah dan kata-kata.  Ia melepaskan omelan pada sosok kepala lingkungan yang tertunduk lesu di hadapan. Kemudian iapun memacu sepeda motornya, tak lama setelah ambulans berlalu. 

Dalam benak Hilman menyimpan tanda tanya. Kenapa harus ragu memberikan informasi tentang warga yang terpapar. Padahal gengsi dan status warna zona, tidaklah sebanding dengan nyawa. 

Bunyi ambulans, bukankah lebih membuat cemas. Argumentasi omong kosong tentang kepanikan. Tokoh masyarakat, harusnya membuat warga dapat berpikir lebih dewasa.

"Aku butuh tidur!" Hilman merebahkan tubuhnya di sofa. Ia baru selesai mandi malam. Rutinitas tak sehat yang harus diambil setelah berjuang memastikan kesehatan orang lain. 

Tangannya iseng meraih handphone di atas meja. Ucapan terimakasih, dan penyemangat dalam group media pesan masih mengalir. 

"Eh, si cantik masih bangun!" jemari Hilman berhenti bergulir pada gambar jempol milik Rahma. 

Sejak memutuskan menjadi relawan penanggulangan covid. Hilman lebih sering berinteraksi dengan tenaga kesehatan di Puskesmas. Berbeda saat menjalankan tugas sebagai relawan tanggap bencana. Dimana ia lebih banyak waktu di lokasi bencana. 

Dan perkenalan dengan Rahma, adalah keberuntungan. Perawat baru yang menarik perhatian. Bukan karena wajah cantiknya, tetapi kesantunan dan kelembutan hati yang terpancar dari sikap. Hilman pun terpesona.  

Kelak setelah pandemi berakhir, Hilman akan memintanya untuk merawat kebahagiaan dan cinta. Ia bukan hanya jatuh hati. Namun tenggelam pada kasih sayang Rahma. 

"Wakilin dulu, saya sedang sibuk!" 

"Bu Eva keterlaluan!" Pagi buta, Hilman sudah mengantar makanan dan obat-obatan ke beberapa rumah yang tengah menjalani isolasi mandiri. Ditambah tugas dadakan untuk menghadiri seminar kesehatan. 

Rahma melayani keluhan keluarga pasien dengan senyuman. Meski di balik masker, kecantikannya tak terbantahkan. Tatapan hangat dan meyakinkan. Keluarga pasien yang terkesan beringas, kini mulai tenang. 

Hilman memandang aktivitas itu dengan kekaguman. Banyak perawat yang lebih terampil menangani pasien. Namun Rahma tetaplah istimewa. Iapun mencari cara untuk sekedar menyapanya.

Di ujung lorong, di samping ruang poli gigi yang sepi. Di depan jendela yang menghadap ke arah taman. Rahma menumpahkan air mata. 

Gerimis menyapa membelai bunga-bunga. Hiatus bagi rutinitas dan hiruk pikuk tanpa koma di pusat layanan kesehatan. Dering telepon dan teriakan, sejenak menghilang. 

"Ambillah, kau butuh ini," tisu roll di tangan Hilman disodorkan pada Rahma. 

"Maaf, jaga jarak!" ucap Rahma, seraya buru-buru menghapus air mata. 

"Kuharap kita tak pernah berjarak, Rahma," gumam Hilman dalam hati. 

Hilman lantas mengambil duduk di samping jendela. Ia menatap sendu pada perempuan pujaan. Berharap Rahma paham, bahwa ia tak sendirian. Syukurlah, bila dapat memberi sedikit hiburan. 

"Air mata itu, untuk pasien covid yang baru saja meninggal?" tanya Hilman. 

"Untuk pandemi yang belum berakhir," Rahma menjawab lirih. 

"Kita menjalankan bagian penting dalam pandemi ini. Kau akan tersenyum saat melihat wajah-wajah bahagia mereka. Orang-orang yang terbebas dan selamat."

"Ya, kamu juga harus jaga kondisi, seminar kesehatan ada di ruang sebelah." Rahma bangkit dan mengambil tisu dari tangan Hilman. Ia tersenyum. Berlalu pergi, kembali pada aktivitas pengabdian di dalam bangsal dan lorong balai kesehatan. 

Hilman terpaku menatap gerimis. Betapa kondisi saat ini terasa memuakkan. Di sini kami berjuang melawan kenyataan. Sementara di luar sana, masih banyak orang meragukan, sesuatu yang kami kerjakan. 

Mereka berkutat pada teori-teori penyebab, konspirasi dan memasarkan keyakinan dari sumber yang berbeda. Tidak masalah, bila sedikit saja mereka memberi ruang pada kecerdasannya. Ruang simpati, empati dan rasa. Karena kematian akibat pandemi, bukanlah rekayasa. 

Pandemi, bencana kesehatan yang tak kunjung mempersatukan hati nurani dan otak kiri.

Kadang Hilman berpikir, apakah penting untuk meyakinkan mereka yang tidak percaya. Sama halnya memberikan pemahaman bahwa terorisme itu nyata. Toh, mereka tak perlu menunggu potongan tubuh korban akibat ledakan, menghantam atap rumah mereka, bukan.

Hilman memacu kecepatan menembus hujan. Panggilan untuk mengawal pasien rujukan rumah sakit ke lokasi karantina segera disambut. 

Hari ini akan sibuk. Namun ia sudah terbiasa bergelut dengan musibah. Di dalam kamus hidupnya, tak ada kata pasrah kecuali pada Tuhan. Meski ia tahu resiko yang diambil tak sebanding pengabdian. Tak sedikit relawan yang sudah tumbang terpapar. 

"Hilman, mana laporan seminar kesehatan!"

Sebaris chat yang dibaca Hilman seakan berteriak. Hilman memegang kening dan berkata dalam hati, "Bu Eva pasti mengomel, bila kujawab lupa." 

"Kata Kang Ujang, kamu ke puskemas buat godain mbak rahma" Belum sempat Hilman menjawab. Ia membaca, semakin ramai saja gunjingan rekan relawan di group media pesan. "Aduh biyung!"

Hilman lalu memasukkan handphone ke dalam saku. Melangkahkan kaki di beranda rumah sakit yang penuh sesak. Ia menarik nafas panjang dan berdo'a, "semua akan baik-baik saja."

Bahkan saat dunia baik-baik saja, orang bijak pernah berkata, 'sediakan payung sebelum hujan'.

**

Cerita ini hanya fiktif belaka, kesamaan nama, tokoh dan tempat hanyalah kebetulan semata.

Indra Rahadian

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun