Dan perkenalan dengan Rahma, adalah keberuntungan. Perawat baru yang menarik perhatian. Bukan karena wajah cantiknya, tetapi kesantunan dan kelembutan hati yang terpancar dari sikap. Hilman pun terpesona. Â
Kelak setelah pandemi berakhir, Hilman akan memintanya untuk merawat kebahagiaan dan cinta. Ia bukan hanya jatuh hati. Namun tenggelam pada kasih sayang Rahma.Â
"Wakilin dulu, saya sedang sibuk!"Â
"Bu Eva keterlaluan!" Pagi buta, Hilman sudah mengantar makanan dan obat-obatan ke beberapa rumah yang tengah menjalani isolasi mandiri. Ditambah tugas dadakan untuk menghadiri seminar kesehatan.Â
Rahma melayani keluhan keluarga pasien dengan senyuman. Meski di balik masker, kecantikannya tak terbantahkan. Tatapan hangat dan meyakinkan. Keluarga pasien yang terkesan beringas, kini mulai tenang.Â
Hilman memandang aktivitas itu dengan kekaguman. Banyak perawat yang lebih terampil menangani pasien. Namun Rahma tetaplah istimewa. Iapun mencari cara untuk sekedar menyapanya.
Di ujung lorong, di samping ruang poli gigi yang sepi. Di depan jendela yang menghadap ke arah taman. Rahma menumpahkan air mata.Â
Gerimis menyapa membelai bunga-bunga. Hiatus bagi rutinitas dan hiruk pikuk tanpa koma di pusat layanan kesehatan. Dering telepon dan teriakan, sejenak menghilang.Â
"Ambillah, kau butuh ini," tisu roll di tangan Hilman disodorkan pada Rahma.Â
"Maaf, jaga jarak!" ucap Rahma, seraya buru-buru menghapus air mata.Â
"Kuharap kita tak pernah berjarak, Rahma," gumam Hilman dalam hati.Â
Hilman lantas mengambil duduk di samping jendela. Ia menatap sendu pada perempuan pujaan. Berharap Rahma paham, bahwa ia tak sendirian. Syukurlah, bila dapat memberi sedikit hiburan.Â