"Air mata itu, untuk pasien covid yang baru saja meninggal?" tanya Hilman.Â
"Untuk pandemi yang belum berakhir," Rahma menjawab lirih.Â
"Kita menjalankan bagian penting dalam pandemi ini. Kau akan tersenyum saat melihat wajah-wajah bahagia mereka. Orang-orang yang terbebas dan selamat."
"Ya, kamu juga harus jaga kondisi, seminar kesehatan ada di ruang sebelah." Rahma bangkit dan mengambil tisu dari tangan Hilman. Ia tersenyum. Berlalu pergi, kembali pada aktivitas pengabdian di dalam bangsal dan lorong balai kesehatan.Â
Hilman terpaku menatap gerimis. Betapa kondisi saat ini terasa memuakkan. Di sini kami berjuang melawan kenyataan. Sementara di luar sana, masih banyak orang meragukan, sesuatu yang kami kerjakan.Â
Mereka berkutat pada teori-teori penyebab, konspirasi dan memasarkan keyakinan dari sumber yang berbeda. Tidak masalah, bila sedikit saja mereka memberi ruang pada kecerdasannya. Ruang simpati, empati dan rasa. Karena kematian akibat pandemi, bukanlah rekayasa.Â
Pandemi, bencana kesehatan yang tak kunjung mempersatukan hati nurani dan otak kiri.
Kadang Hilman berpikir, apakah penting untuk meyakinkan mereka yang tidak percaya. Sama halnya memberikan pemahaman bahwa terorisme itu nyata. Toh, mereka tak perlu menunggu potongan tubuh korban akibat ledakan, menghantam atap rumah mereka, bukan.
Hilman memacu kecepatan menembus hujan. Panggilan untuk mengawal pasien rujukan rumah sakit ke lokasi karantina segera disambut.Â
Hari ini akan sibuk. Namun ia sudah terbiasa bergelut dengan musibah. Di dalam kamus hidupnya, tak ada kata pasrah kecuali pada Tuhan. Meski ia tahu resiko yang diambil tak sebanding pengabdian. Tak sedikit relawan yang sudah tumbang terpapar.Â
"Hilman, mana laporan seminar kesehatan!"
Sebaris chat yang dibaca Hilman seakan berteriak. Hilman memegang kening dan berkata dalam hati, "Bu Eva pasti mengomel, bila kujawab lupa."Â
"Kata Kang Ujang, kamu ke puskemas buat godain mbak rahma" Belum sempat Hilman menjawab. Ia membaca, semakin ramai saja gunjingan rekan relawan di group media pesan. "Aduh biyung!"