Meski berusaha tenang. Langkahnya terasa berat. Ia memutuskan mengikuti jalan setapak di hadapan. Nafasnya masih memburu.Â
"Tenanglah Utari, tenang!"
Ia berusaha memberikan sugesti pada diri sendiri dan berjalan pelan. Mengeluarkan handphone dari saku celana dan berusaha menghubungi Timo.Â
Utari berharap, Timo dapat menyusul dari Semarang dan menemukannya di hutan ini. Nahas, tidak nampak satu pun garis sinyal di layar sentuh.
Matahari sudah hampir jatuh ke balik tebing. Ia menatap jauh ke sebuah menara di rimbun pepohonan.Â
Dalam benak Utari, itulah tempat yang dituju. Bertahun-tahun mencari letak pasti. Berharap misteri kematian kakek dan pamannya akan terungkap di sana.Â
Bayangan suram di masa silam kembali hinggap. Kala sebuah buku catatan usang bersimbah darah, digenggamkan pada tangan mungilnya.Â
Trauma itu masih membekas. Obsesi dan rasa dendam terpaut dalam hati. Ia selalu terngiang, sepatah kata menjelang akhir hayat sang kakek.Â
"Temukan!"
Tubuh Utari bergetar kala tersadar tengah berada tak jauh dari bangunan tua. Puing yang terserak di antara semak belukar dan bebatuan menyeretnya masuk ke suasana masa lampau. Suasana hening di kala senja tertusuk ilalang. Dan malam segera menjelang.
Utari berhenti untuk menggoyangkan handphone di tangan. Kali ini layarnya benar-benar padam. Ia mengatur desah nafas, kala langit kian menghitam.Â
Meski dihantui keraguan dan rasa takut. Namun di satu sisi, hasratnya tak tertahankan untuk melangkah masuk ke dalam bangunan.Â