Lonceng di menara itu berdentang setiap pukul dua belas malam. Tak tentu hari. Kadang satu waktu dalam sebulan. Bahkan berbulan-bulan. Biasa terdengar di malam Jum'at atau Jum'at malam.Â
Padahal bangunan tua itu, sudah sejak lama ditinggalkan. Terbengkalai dan tak berpenghuni. Penduduk setempat, seolah melupakan adanya bangunan tersebut. Dan misteri tersembunyi di balik asal-usul bangunan, terkesan simpang-siur.Â
Kabar berhembus, bangunan itu adalah bekas pos penjagaan serdadu VOC. Pada masa perjuangan, telah diubah fungsi menjadi markas perkumpulan pemuda. Namun ada yang mengatakan, bangunan itu awalnya sebuah Gereja.Â
Meskipun letaknya tak jauh dari wilayah perkampungan. Melewati jalan setapak, masuk ke dalam hutan. Melintasi semak belukar di kiri-kanan. Di balik tebing. Bertembok kusam. Berselimut akar-akar gantung dan tanaman merambat.Â
"Maaf, Mbok. Apa benar ini jalan ke dusun Klewang, Kecamatan Sedayun?"Â
Utari bertanya pada seorang nenek pencari kayu bakar. Ia baru tiba di tapal batas sebuah dusun. Setelah berjalan melewati bukit dan menembus hutan jati selama tiga jam.Â
Namun sial baginya, buku catatan yang berisi nama dan alamat kepala dusun, tertinggal di kamar losmen di Semarang.Â
"Nggih, leres."
Dada Utari lega mendengar jawaban sang nenek. Ia pun menarik nafas panjang dan meregangkan tubuh. Memijat kedua lutut yang terasa pegal.Â
Namun, ketika ia akan meminta sang nenek untuk menunjukkan arah ke rumah kepala dusun. Utari terkesiap, sang nenek tidak lagi terlihat.Â
Degup jantung bak deru tambur di upacara adat. Keringat dingin mengucur deras. Ia tak bisa menyembunyikan ketakutan.Â