Namun Martina merasa bimbang pada keputusannya. Ia berpikir, kenapa harus Romeo yang meninggalkan. Bukan sebaliknya. "Dahulu dia datang dan aku menerima. Kini dia ingin pergi? Oh, tidak semudah itu. Tidak!"
"Martina!"Â
Malam beranjak pekat, hujan semakin lebat. Romeo memanggil Martina dari luar pagar. Menatap lurus ke atas balkon kamarnya dan berharap ia muncul dari balik pintu. Â
"Martina, jika aku salah aku minta maaf! Tapi apa salahku?" Ia berseru.Â
Martina muncul dari balik pintu. Bertolak pinggang. Matanya melotot. Dengan nada tinggi iapun menjawab seruan.Â
"Dewasalah, Romeo! Tujuh tahun kita berpacaran. Dan kau tega memutuskan hubungan lewat telepon!"
"Astaga, kau salah dengar!" kilah Romeo.Â
"Sekarang kau bilang aku salah!" ledakan amarah Martina sudah di ubun-ubun.Â
"Dengarlah, aku tak mau jadi pacarmu lagi! aku mau jadi suamimu, Martina!"
Martina tak dapat menahan kegembiraan. Ia bersandar manja di balik pintu, dengan segaris senyum di wajah cantiknya. Binar mata menyala. Ia sangat tersentuh sampai menitikkan air mata.
"Martina! sudah boleh aku masuk dan kaubuatkan teh hangat? aku sudah menggigil!" Teriakan Romeo kembali terdengar.Â
Buru-buru Martina menghapus air mata. Ia pun kembali memasang wajah cemberut. Namun, sorot matanya berkata lain. Martina menaruh sukacita pada keberanian Romeo.