Romeo tidak menjawab apapun. Hatinya masih kalut karena panggilan telepon tak kunjung bersambut. Semalam, panggilan diputus sebelum ia selesai berbicara.Â
"Martina, ada apa denganmu."
Ia sadar dirinya dan Martina sudah terlalu banyak perbedaan. Bila berbicara kedai kopi, dalam pikiran Martina itu cafe. Bila berbicara rumah makan, dalam pikiran Martina itu restoran.Â
Dan bila berbicara pasar, dalam pikiran Martina itu mall atau swalayan. Dan tak ayal, karena itu mereka selalu bertengkar.Â
Dalam benaknya gamang. Namun ia telah berhasil merangkai sebuah kesimpulan.
"Bila ada seribu perbedaan. Dan hal itu membuat kami bertengkar. Bukankah kami memiliki satu persamaan. Dan hal itu telah meruntuhkan seribu perbedaan tadi."Â
Kopi hitam ditenggak sekali teguk. Romeo meletakkan cangkir tergesa dan menarik nafas dalam-dalam. Ia menatap Wak Burhan dan berkata, "Wak benar! masalah itu ada pada diriku sendiri."
Kemudian ia bangkit menuju ke arah kasir. Melangkah terburu-buru, meninggalkan Wak Burhan yang kebingungan. "Eh, aku tak berkata apapun!" seru Wak Burhan.Â
Romeo meninggalkan kedai. Memacu sepeda motor dengan penuh keyakinan. Berkendara menembus deras hujan dan berharap menjemput sebuah jawaban.Â
Martina, kita seperti sepasang sandal
Berjalan dalam alunan saling menopang
Berdua tak terpisahkan sejak awal
Bila satu tercuri, satu lagi pasti terbuang
Romeo
Martina membaca sebait rayuan yang diterimanya, lima tahun lalu. Meski tersenyum, tetapi tak dapat mengobati kekecewaan. Ia pun meletakkan secarik kertas itu ke dalam kotak.Â
Di dalam kamar, barang-barang pemberian Romeo, ditumpahkan dalam kotak. Buku novel, surat cinta dan foto mereka berdua. Katanya, masa lalu harus dikubur dan dilupakan. Dan sebentar lagi, Romeo akan menjadi masa lalu.Â