Mohon tunggu...
Indra Rahadian
Indra Rahadian Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Swasta

Best In Fiction Kompasiana Award 2021/Penikmat sastra dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Selamat Pagi, Selabintana

5 Juni 2021   10:14 Diperbarui: 7 Juni 2021   12:48 1065
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Selamat Pagi Selabintana/ Foto: ValentinusSardo5 Via Pixabay.

KABUT tipis membelai mesra pucuk-pucuk daun di perkebunan teh Salabinta di bulan Juni. Mentari membuka pagi dengan kilau sinar yang becermin genit pada setiap tetesan embun.

Gadis berjilbab putih merentangkan kedua tangan, menyambut desir angin di pagi yang indah. Kemudian berlari kecil membelah perkebunan. Lentik jemari mungil itu, menyentuh pucuk-pucuk teh yang basah. Hingga Derai tawa merdu mengalun, dan memecah kesunyian. 

Dia adalah Habibah Nur Aisyah, aku biasa menyapa dengan panggilan Ay. Dan hari itu, adalah kebersamaan kami yang tak pernah dapat kulupakan. Hari itu, semacam acara perpisahan kelas kami selepas kelulusan. 

"Farid, kamu mau ikut ke Curug Cibeureum?" suara lembut itu menghujam tepat ke hatiku. Ia salah mengucapkan namaku, tetapi sorot mata beningnya tak lepas dari tatapanku. 

"Namaku Fariz, Ay." 

Segaris senyum menghiasi wajah cantik itu. Kedua tangan halus, menutupi wajahnya karena malu. Padahal aku memaklumi kesalahan kecilnya. Kami memang tidak terlalu dekat di sekolah. 

Ia melangkahkan kaki dengan bersemangat. Hanya tujuh orang dari rombongan kelas yang berangkat ke atas. Sekedar mengambil kenangan di bawah air terjun yang tak jauh dari Selabintana. 

"Fariz, jagain. Nita dan yang lain malah asyik sendiri." Ay hampir terpeleset di jalan setapak yang agak curam. Dan aku tepat berada di belakangnya. 

Dalam hatiku berkata, tak perlu kau minta, Ay. Bahkan, aku ingin menjagamu seumur hidup. Namun, rasa senang dapat bersamamu, saat ini sudah luar biasa. Rasanya, sudah seperti sekeping do'a tentangmu yang dikabulkan Tuhan untukku. 

"Fariz, besok-besok pasti kangen suasana sekolah, euy." 

Ay duduk manis dan memandang air terjun di depannya. Ia menatap sendu teman-teman lain, yang tak sabar membasahi diri di bawah air terjun. Canda tawa mereka pun bersahut bersama gemericik air. 

"Kamu mau lanjut kemana, Ay?" 

Aku tak pernah sedekat ini dengannya. Meski sungguh ingin bermain air di depan sana, tetapi aku lebih memilih duduk bersama Ay. 

"Tak kemana-mana, tetap di Sukabumi," jawabnya. 

"Kalau kamu?" Ay bertanya kepadaku. 

"Sama, tak kemana-mana. Aku juga tetap suka kamu." 

Oh Tuhan, mulut ini perlu ditatar. Aku sempat menyesali jawaban gombal yang kucontek dari Wildan si playboy kelas. Namun, reaksi Ay di luar dugaan. Ia terlihat menahan tawa dan tak merasa terganggu. Biarlah, memang aku sudah lama menyukainya. 

Obrolan kami mengalir laksana bulir-bulir air terjun. Semakin deras, saat kami berbicara tentang nostalgia dari awal masuk sekolah. Membicarakan kelakuan lucu guru-guru dan teman-teman yang kami kenal. Hingga, seruan "cie, cie" terdengar dan mengakhiri percakapan kami. 

Di suasana dingin dan lembab di tepi aliran air mengalir. Aku merasakan kehangatan tanpa pelukan. Menikmati senyuman dan tawa Ay sepanjang hari. Aku ingin waktu berhenti momen itu. 

Dua hari setelah acara di Selabintana. Aku menunggu Ay di teras rumahnya. Usaha pendekatan yang kulakukan bisa dibilang telat. Meskipun Ay sudah sering dikunjungi teman lelaki. Namun aku tahu, ia tak pernah menjalin hubungan dengan siapapun. 

Sekilas kulihat Ay, ia tersenyum di depan pintu. Binar matanya membuatku grogi bukan main. Meski agak canggung di awal, tak terasa waktu kian larut. Dan canda tawa kami berhamburan sepanjang malam. 

Suatu ketika, aku terlibat perdebatan dengan Ayah mengenai masa depanku. Beliau ingin aku mengikuti rangkaian test di STPDN di Bandung. Dan aku berkeras untuk menunggu jawaban dari universitas di Jakarta yang kupilih lewat jalur PMDK. Jarak Sukabumi ke Jakarta, lebih dekat daripada Bandung. Dan Ay, telah masuk dalam pertimbangan. 

Aku meninggalkan rumah dengan perasaan kecewa. Hari itu juga aku kembali menemui Ay di rumahnya. Meski aku sempat mengeluh tentang perdebatan dengan ayah. Namun, setiap ucapan yang keluar dari bibir Ay mampu mengobati kekecewaan. 

"Fay, nonton film asyik mereun. Ay pengen." bibir manisnya, mulai terbiasa memanggil namaku dengan sebutan Fay.

"Di Sukabumi mana ada bioskop," gumamku. 

"Bogor lah."

Kami menyusuri kota Bogor layaknya sepasang kekasih. Menikmati setiap jengkal suasana romantis di sepanjang jalan kebun raya. Berbagi semangkuk soto dan melahap asinan sampai kekenyangan. Hingga, Berguling-guling di rerumputan dan melepas canda seperti anak kecil. 

"Yah telat, Ay. Filmnya sudah mulai." 

"Jakartakeun!" 

Ay memutuskan menonton film berjudul "Mengejar Matahari" di Cililitan. Meskipun jauh dari ekspektasi film romantis yang ingin kuhabiskan bersamanya. Namun, aku tak sedikitpun merasa kecewa. Ia terlihat begitu bahagia. 

Hari itu, tawa dan senyuman tak lepas dari wajah cantiknya. Hingga malam menjelang. Sebelum pulang, kami menikmati setiap tusuk sate dengan canda tawa di depan Masjid Lautze di daerah Menteng. 

Malam telah larut. Dan aku tertunduk pasrah di hadapan orangtua Ay. Meski kami sudah menjelaskan aktivitas yang dilewati. Namun, amukan Pak Abu, Ayah Ay. Benar-benar tak dapat dibendung. Dan lambaian Ay dari balik jendela, membuatku tahan menerima beribu omelan yang terlontar. 

Pagi itu, Ayah melemparkan tas yang berisi baju-bajuku. Beliau memintaku segera pergi ke Bandung. Perdebatan tak dapat dihindarkan. Dan Ibu menenangkan dengan pelukan. Akupun beranjak dari hadapan ayah dan sepakat untuk pergi ke Bandung. 

Ay sudah berdiri di teras rumahku. Ia tersenyum, dan sepertinya mendengarkan perdebatan di dalam rumah. Namun, tak sepatah kata ia ucapkan. Kemudian, aku membawanya menyantap bakso di sekitar Lapang Merdeka. 

"Do'ain biar Fay tak lulus test, Ay," pintaku. 

Ay menyantap semangkuk bakso dengan penuh semangat. Dengan mulut yang masih penuh, ia menatapku dan berkata. "Nggak, Fay mesti sukses." 

"Kalau lulus dan sudah dinas jadi camat, Fay bisa lamar Ay, kan." Matanya berkaca-kaca. Ia buru-buru meminum teh hangat, saat aku menyadari ada air mata mengalir di pipinya. 

"Pedess!" ucapnya. Namun aku tahu, ia tak rela melepas kepergianku di hari itu. 

Hari-hari berlalu, dan aku mulai mengikuti rangkaian test dengan niat yang dihujamkan Ay padaku. Harapan yang kudengar dari bibir manis itu, tak akan pernah dapat kuabaikan. 

Hingga, waktu bergulir merambat hari demi hari. Aku tiba di rumah dengan kepala plontos. Membaringkan tubuhku di teras dan mengumpulkan tenaga untuk berkunjung ke rumah Ay. "Kerinduan itu begitu tebal."

Ibu menyambut dengan pelukan. Beliau tak henti bercerita tentang suasana rumah tanpa diriku. Tak lupa tentang kebanggaan Ayah di depan sanak saudara dan pesan Kakek dari Cianjur. Hingga sepucuk surat undangan, beliau berikan padaku. 

Dadaku remuk dan jiwa tergoncang. Nama pada sampul undangan itu adalah nama kekasih yang katanya akan menunggu. Meski amarah bergejolak. Namun tiba-tiba air mataku menetes saat mengingat momen terakhir kebersamaan kami. 

Hari itu, dimana Ay datang ke rumah. Ia pasti ingin menyampaikan sesuatu. Sesuatu yang tak pernah terucapkan dari bibirnya. Dan kini berada dalam genggamanku. Hatiku hancur. Hari itu juga aku kembali ke Bandung. 

Tahun demi tahun berlalu, dan luka itu tak kunjung sembuh. Mimpi-mimpi dan bayangan tentang Ay, masih menghantui di setiap malam. Aku terkurung kenangan. 

Pagi ini, aku berdiri menatap hamparan perkebunan teh Selabintana. Seorang teman memberikan kabar tentang Ay. Ia berkata, bahwa Ay sering menghabiskan waktu di sana setiap akhir pekan. 

Dan aku datang untuk mengucapkan kata-kata yang terkurung dari masa lalu. 

"Kejar bunda!"

Dia adalah Habibah Nur Aisyah yang sama. Kali ini, ia tak sendirian menyusuri perkebunan teh di pagi hari. Di bawah sinar mentari, di Selabintana. Kabut tipis sudah berlalu.

Ay terlihat bahagia, berkejaran dengan gadis mungil berjilbab putih yang tak mau lepas dari pelukannya. Dan aku, memandang haru dari kejauhan. 

Aku menuntaskan kerinduan berdebu di ujung waktu. Seuntai do'a terucap dalam hatiku, membenamkan ribuan pertanyaan dan mengiringi langkahku beranjak pulang. 

"Senang melihatmu bahagia, Ay." 

**

Cerita ini hanya fiktif belaka, kesamaan nama, tokoh dan tempat hanyalah kebetulan semata.

Indra Rahadian

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun