"Do'ain biar Fay tak lulus test, Ay," pintaku.Â
Ay menyantap semangkuk bakso dengan penuh semangat. Dengan mulut yang masih penuh, ia menatapku dan berkata. "Nggak, Fay mesti sukses."Â
"Kalau lulus dan sudah dinas jadi camat, Fay bisa lamar Ay, kan." Matanya berkaca-kaca. Ia buru-buru meminum teh hangat, saat aku menyadari ada air mata mengalir di pipinya.Â
"Pedess!" ucapnya. Namun aku tahu, ia tak rela melepas kepergianku di hari itu.Â
Hari-hari berlalu, dan aku mulai mengikuti rangkaian test dengan niat yang dihujamkan Ay padaku. Harapan yang kudengar dari bibir manis itu, tak akan pernah dapat kuabaikan.Â
Hingga, waktu bergulir merambat hari demi hari. Aku tiba di rumah dengan kepala plontos. Membaringkan tubuhku di teras dan mengumpulkan tenaga untuk berkunjung ke rumah Ay. "Kerinduan itu begitu tebal."
Ibu menyambut dengan pelukan. Beliau tak henti bercerita tentang suasana rumah tanpa diriku. Tak lupa tentang kebanggaan Ayah di depan sanak saudara dan pesan Kakek dari Cianjur. Hingga sepucuk surat undangan, beliau berikan padaku.Â
Dadaku remuk dan jiwa tergoncang. Nama pada sampul undangan itu adalah nama kekasih yang katanya akan menunggu. Meski amarah bergejolak. Namun tiba-tiba air mataku menetes saat mengingat momen terakhir kebersamaan kami.Â
Hari itu, dimana Ay datang ke rumah. Ia pasti ingin menyampaikan sesuatu. Sesuatu yang tak pernah terucapkan dari bibirnya. Dan kini berada dalam genggamanku. Hatiku hancur. Hari itu juga aku kembali ke Bandung.Â
Tahun demi tahun berlalu, dan luka itu tak kunjung sembuh. Mimpi-mimpi dan bayangan tentang Ay, masih menghantui di setiap malam. Aku terkurung kenangan.Â
Pagi ini, aku berdiri menatap hamparan perkebunan teh Selabintana. Seorang teman memberikan kabar tentang Ay. Ia berkata, bahwa Ay sering menghabiskan waktu di sana setiap akhir pekan.Â