DUA orang pengemis, duduk saling berhadapan di sebuah lorong pertokoan yang ramai pejalan kaki. Mereka terlihat kontras dengan kondisi kawasan elite yang bersih dan asri.
Di kawasan pertokoan elite di pusat kota, para pengunjung lalu-lalang berpakaian mewah, bersih dan wangi. Tentu, sedekah yang diberikan tidak kecil jumlahnya.Â
Nilai uang receh di lokasi itu, tak kurang dari pecahan 20,000 Rupiah. Meskipun, masih banyak orang yang tega melemparkan koin.
Hampir dua bulan lamanya, mereka saling mengenal dan bertemu di lokasi strategis bagi peminta-minta itu. Meski sempat berpindah-pindah lokasi, mereka bukanlah pengais belas kasihan musiman. Fenomena yang tiba-tiba datang dan seketika hilang di waktu-waktu tertentu.Â
Menjelang sore, pengemis berkaus hitam compang-camping bernama Badri, beranjak pamit pada pengemis berkaus putih kusam bernama Dudu. Badri sekilas melihat rekan di depannya, mendapatkan lebih sedikit sedekah dari yang ia peroleh.
"Kamu, benar-benar pengemis? kenapa sedikit sekali uang kau dapat?" tanya Badri.Â
"Hah, bukankah kau juga pengemis?" jawab Dudu, terheran-heran.Â
Badri mengantongi mangkuk kusam miliknya ke dalam tas yang terbuat dari karung terigu. Kemudian ia berkata, "ah, aku ini pengemis profesional."Â
Sebelum melangkah pergi, Badri meletakkan segenggam uang receh pada mangkuk milik Dudu. Melihat Badri melakukan hal itu, Dudu semakin kebingungan. Dan ucapan, "terima kasih," hanya tertahan di kerongkongan.Â
Mobil sedan warna hitam, meluncur tak lama setelah Badri beranjak pergi. Bunyi klakson terdengar dari jauh, seolah menyapa Dudu yang masih terduduk di lorong pertokoan. Di dalam mobil itu, Badri untuk pertama kalinya merasa kasihan pada seseorang.Â