"Aku hanya bilang, kopiku tak perlu pakai gula. Mbak Nila sudah manis kupandang. Ya ampun, itu hanya ramah tamah," ucapku.Â
"Kalau hanya soal itu, mana mungkin orang-orang kampung sampai rame, Mas!" seru istriku.Â
Akupun tertunduk lesu. Narasi gosip, biasanya lebih sadis daripada kejadian sebenarnya. Ya Tuhan, sungguh tega orang-orang kampung menyebar gosip tentangku. Padahal aku bukan tokoh atau artis di kampung ini.Â
Dan yang lebih parah, kenapa istriku bisa sampai tahu. Ya ampun, apa dia juga tahu. Jika aku bukan hanya berbicara genit, tetapi sampai minta nomor handphone dan mengirim pesan rayuan dan ajakan ke bioskop pada Mbak Nila.Â
Padahal kan wajar, aku tak tahu jika dia istri Mas Marwoto yang baru datang dari kampung lain, kupikir adik atau kerabatnya saja. Yang justru tak wajar, ternyata istriku tahu dan begitu marah. "Aduh biyung!"
"Pokoknya, pintu kamar aku blokir! Mas tidur di ruang tamu malam ini, besok, besoknya lagi dan besok seterusnya!" seru istriku.
"Sampe kapan, Dek?" dengan wajah memelas, aku bertanya. Berharap ia luluh dan kasihan pada suaminya ini.
"Sampe jumpa lagi!" teriak istriku, seraya membanting pintu kamar.Â
Sepanjang malam aku merenung, apa yang salah dengan kelakuanku. Teringat kata-kata seorang teman, jika mulutku ini genit dan mataku jelalatan kalau lihat perempuan cantik. Padahal, berkat mulut dan mataku ini pula aku mendapatkan istriku sekarang.Â
"Aku benar-benar tak habis pikir, kira-kira apa yang salah?"
**
Cerita ini hanya fiktif belaka, kesamaan nama, tokoh dan tempat hanyalah kebetulan semata.